New is (not) Always Better

September 19, 2014


Pemain sepak bola tak berbeda jauh dengan produk-produk kemasan di pasaran. Untuk membuat sebuah produk menarik di mata konsumen, dalam hal ini klub sepak bola, dibutuhkan kualitas yang khas dimiliki oleh produk tersebut. Menurut American Society for Quality Control (Kotler, 2008: 129), definisi kualitas adalah kemampuan suatu barang untuk memberikan hasil atau kinerja yang sesuai atau melebihi apa yang diinginkan pelanggan. Jadi, ketika berbicara tentang kualitas, kita membicarakan tingkat baik buruknya suatu produk, bibit, bebet, dan bobotnya.
Pada pasar musim panas yang baru saja ditutup sekitar tiga pekan lalu, produk-produk industri sepak bola telah menebarkan pesonanya, baik dari penampilan musim lalu, penampilan di Piala Dunia Brazil, hingga menebar pesona lewat berbagai media. Bagi mereka yang berhasil menampilkan kualitas yang baik, bermain di klub yang lebih besar/diinginkan atau kenaikan gaji tentunya sedang mereka nikmati sekarang.
Klub-klub Liga Inggris jor-joran membeli pemain di musim panas kemarin, hingga mengeluarkan lebih dari 1 miliar Euro. Nama-nama besar yang pindah ke tim-tim Inggris pun menjadi buah bibir hampir di setiap media sepak bola. Namun dibalik hingar bingar itu, ada pertanyaan terselip di benak para suporter klub yang berharap klubnya bermain lebih baik di musim ini, “Mengapa dia (Ashley Young, misalnya) tidak dijual? Padahal kualitasnya buruk sekali,” atau “Mengapa membeli dia (Danny Welbeck, misalnya)?”
Meski lidah dan uang sama-sama tak bertulang, namun perihal jual-beli pemain tentunya tidak semudah sekedar bicara. Selain itu, jual-beli pemain juga tak melulu soal uang, jika seorang pemain masih memiliki kualitas yang diinginkan, mengapa pula dia harus dilelang. Sama saja seperti barang-barang kita di rumah, jika barang tersebut masih memiliki kualitas yang kita inginkan, tentunya kita tidak sembarang meloakkannya hanya demi sebuah barang baru yang mengkilap.
Banyak sekali unsur yang menunjukkan kualitas dari suatu produk. Selain performa, hal yang berkaitan dengan fungsi spesial produk (special features), atau masa pakai suatu produk (durability) juga menjadi hitungan penting untuk merekrut atau mempertahankan pemain pada jendela transfer.      
Arsenal
Santi Cazorla dan Tomas Rosicky adalah tipikal pemain yang memiliki kualitas performa (performance) dan fungsi spesial (special features) sehingga layak dipertahankan oleh Arsene Wenger. Walau kedua pemain ini sudah tak muda lagi, mereka diharapkan mampu menjadi back up sektor gelandang tengah milikGunners karena Mikel Arteta, Jack Wilshere, dan Aaron Ramsey rentan cedera.
Secara fungsi, Cazorla dan Rosicky juga mampu bermain melebar atau bahkan menjadi penyerang bayangan untuk Arsenal. Ketika kompetisi begitu padat, rotasi pemain jelas dibutuhkan Wenger, dengan adanya pemain-pemain fleksibel seperti itu, tugasnya untuk meracik tim pun menjadi lebih mudah.
Begitu juga dengan Danny Welbeck, kepindahannya dari Manchester United bukan berarti ia tidak memiliki kualitas. Berada di bawah bayang-bayang Wayne Rooney dan Robin van Persie mengubur paksa kualitasnya. Welbeck memiliki unsur kualitas reliability, yangberkaitan dengan kemungkinan pemain berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu tertentu.
Artinya, dengan kedatangan Danny Welbeck di squad the gunners, selain akan menambah opsi pemain, Wenger pun mendapatkan lebih banyak pilihan untuk meracik strategi. Menduetkannya bersama Olivier Giroud atau memainkan pola trisula bersama Alexis Sanchez, mungkin bisa membuat Opa Wenger tersenyum sejenak melihat kedalaman squad yang ia miliki.
Chelsea
Kedatangan Felipe Luis dan Diego Costa membuat banyak orang bertanya-tanya tentang masa depan César Azpilicueta dan André Schürrle. One rule-nya Barney Stinson, “new is always better” tak selamanya berlaku di arena sepak bola. Luis dan Costa tidak terlepas dari persaingan dengan pemain lain yang ingin mempertahankan posisinya, sekalipun pembelian Luis dan Costa memang didasari oleh performa cemerlang mereka pada musim lalu bersama Atletico Madrid.
Terlepas dari penampilan buruk Azpilicueta pada Piala Dunia kemarin bersama Spanyol, ia tetap menjadi pilihan utama Jose Mourinho di posisi kiri pertahanan The Blues. Bermain 90 menit di empat laga awal musim ini benar-benar menepis keraguan bahwa dirinya akan digeser oleh Luis.
Begitu juga dengan Schürrle, ia mampu tampil tiga laga dari empat pertandingan yang ada. Schürrle sejatinya adalah striker murni, namun ia sudah bertransformasi menjadi pemain yang bisa bermain sedikit melebar. Meskipun performa apik Costa terus berlanjut, tak ada sedikit kecemasan pada diri Schürrle karena ia bisa menghindari komparasi dirinya atas Costa sebagai penyerang murni.
Terlepas dari aspek durability Azpilicueta (25 tahun) dan Schürrle (23 tahun), Mou merasa unsurconformance, yaitu hal yang berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap keinginan pelatih, menjadi alasan untuk mempertahankan mereka. Musim lalu, Azpilicueta berhasil membuat total 12 peluang sebagaifull back, sedangkan Schürrle menorehkan delapan gol di liga dan membuat total 29 peluang. Dan itu sudah melebihi ekpektasi Mou untuk kedua pemain muda tersebut.
Manchester United
Ketika Loius van Gaal berhasil mendapatkan produk asli yang lebih berkualitas semacam Angel di Maria, Marcos Rojo, Daley Blind, dan Radamel Falcao, produk kelas dua dan “produk gagal” yang ada di Manchester United pun mulai dibersihkan. Luis Nani, Tom Cleverley, Javier Hernandez, dan Danny Welbeck pun menjadi korban cuci gudang setan merah.
Namun, diantara daftar mereka yang pergi, tak ditemukan nama Ashley Young dan Antonio Valencia. Mereka masih bersanding dengan nama-nama mega bintang teranyar United semacam di Maria. Ya, lagi-lagi unsur kualitas lain yang menjadi penyelamat karir mereka. Selain bermain ciamik pada masa pre-season, kemampuan mereka untuk bermain di berbagai posisi menjadi bahan pertimbangan van Gaal untuk mempertahankan mereka.
Ketika awalnya LvG bersikeras dengan skema 3-5-2 ala timnas Belanda, Young dan Valencia dirasa cocok untuk memainkan filosofi sang pelatih. Akan tetapi, pekan kemarin United bangkit dengan skema 4-4-2-nya, entah bagaimana nasib kedua pemain ini di jendela transfer musim dingin nanti.
***
Dari tiga fenomena yang terjadi pada tim-tim tersebut, terlihat bahwa banyak pelatih yang melihat kualitas pemain dari berbagai unsur. Performa pemain tak hanya dinilai dari banyak gol dan jumlah assist, namun fungsi ganda atau multi-posisi, tingkat kesesuaian di dalam tim, dan umur produktif pemain menjadi berbagai unsur lain untuk melihat kualitas pemain.
Jadi, jangan heran ketika melihat nama-nama diatas masih saja menjadi andalan masing-masing pelatih.
Gambar: kicksocca.com

You Might Also Like

0 comments