Gol Tandang, Kunci Menuju Lisbon
May 01, 2014
Pada tahun 1955-1956,
UEFA, dengan ide dan bujukan media olahraga Perancis, L’Equipe, membuat
sebuah kompetisi yang bernama European Champions Clubs’ Cup yang mempertemukan
para juara liga-liga Eropa dalam satu turnamen untuk menentukan siapa yang
terbaik. Kompetisi tersebut lalu berubah nama menjadi UEFA Champions League
pada musim 1992-1993. Perubahan pada kompetisi yang awalnya hanya berformat
sistem gugur dengan dua leg pertandingan ini tak sebatas pada re-branding semata,
namun juga menyentuh sisi terdalam kompetisi.
Dengan menggunakan format
tiga fase kualifikasi, babak grup, dan baru sistem gugur, Liga Champions
terlihat semakin njilemet dan membuat jumlah pertandingan
menjadi semakin begitu banyak. Bagaimana tidak, hampir semua babak di Liga
Champions, mulai dari kualifikasi hingga babak knockout,
menggunakan sistem home-away. Hanya partai final saja yang
menggunakan sistem single match.
Dengan banyaknya jumlah
pertandingan, semakin banyak pula pemasukan klub-klub tersebut, mulai dari
penonton yang datang ke stadion, hak siar pertandingan, dan tentunya para
sponsor. Namun, bukan itu yang dipermasalahkan oleh para pelaku sepak bola,
seperti pelatih, pemain, atau manajemen klub terhadap Liga Champions. Keluhan
datang dari arah yang sama sekali berbeda.
Musim lalu, Soccerway
melansir berita bahwa manajer Arsenal, Arsene Wenger, mengungkapkan keluhannya
kepada UEFA tentang aturan gol tandang (away goal). Menurutnya, aturan
tersebut sangat merugikan timnya karena Arsenal harus tersingkir akibat aturan
gol tandang tersebut, dan menurutnya, seharusnya peraturan tersebut dihapuskan.
The Gunners yang sempat kalah 1-3 atas
Bayern Munchen di Emirates Stadium akhirnya behasil membalas kekalahan dengan
skor 0-2 di Alianz Arena. Namun kemenangan itu tak ada artinya karena Arsenal
tetap tersingkir walau agregat kedua tim imbang 3-3 akibat kalah jumlah gol
tandang. Wajar jika Wenger mengeluh, apalagi ia ingin segera melepas dahaga
gelar setelah sekian lama berpuasa.
Banyak kasus lain yang
membuat peraturan gol tandang terasa tidak adil untuk sebagian pihak (baca: tim
yang kalah), misalnya saat Derby Milandi UCL 2003, ketika gol tandang
memberikan keuntungan bagi AC Milan. Atau yang terjadi pada tahun 1972, ketika
pertandingan Rangers dan Sporting Lisbon di babak kedua Piala Winners berakhir
dengan agregat 6-6. Sporting Lisbon, yang menang 4-3 lewat extra-time di
leg kedua, tetap harus tersingkir karena kalah jumlah gol tandang.
Secara gamblang, memang
gol tandang menjadi sesuatu yang amat merugikan. Dengan adanya gol tandang, tim
tuan rumah bisa bermain sangat hati-hati agar timnya tidak kebobolan.
Sebaliknya, tim tamu akan seagresif mungkin memborbadir tim tuan rumah agar
bisa mencuri gol tandang tersebut.
Logika sederhana yang
diciptakan para kaum elit sepak bola ini lah yang merubah para pelaku sepak
bola, khususunya pelatih, untuk terus menemukan cara terbaik di setiap situasi
dan kondisi yang berbeda. Kurang layak jika seorang Jose Mourinho begitu
diagung-agungkan hanya karena memperhitungkan setiap situasi dan kondisi, karena
itu sudah merupakan hal standar bagi setiap pelatih kelas dunia.
Pelatih-pelatih seperti Carlo Ancelotti dan Diego Simeone paham betul dengan
logika sederhana gol tandang untuk diterapkan pada situasi dan kondisi yang
sangat tepat – seperti yang mereka tunjukkan di semifinal Liga Champions musim
ini.
Keunggulan satu gol Real
Madrid di leg pertama membuat imajinasi publik akan leg kedua
semifinal Bayern Muenchen mudah ditebak. Publik akan berpikir kalau Bayern
Muenchen dengan tiki-taka-nya akan menyerang habis-habisan,
sedangkan Madrid akan menggunakan strategi yang sama, yaitu bertahan dan
melakukan serangan balik secepat mungkin. Namun, bukan Don Carlo namanya kalau
tidak bisa memberikan shock therapy kepada penonton.
Cristiano Ronaldo, Gareth
Bale, Angel Di Maria, dan Karim Benzema yang masuk dalam deretan starting
eleven secara bersamaan mengindikasikan bahwa Ancelotti paham betul
akan arti gol tandang. Jika Madrid berhasil mencetak satu gol saja, Munchen
harus berjuang mengejar defisit tiga gol. Rencana pelatih asal Italia itu pun
berhasil. Gol tandang Sergio Ramos di menit-menit awal babak pertama
menghancurkan mental Bayern Muenchen hingga berkeping-keping. Tak mengherankan
jika pada akhirnya Madrid sampai menang 4-0 di Allianz Arena.
Sama halnya dengan Real
Madrid, tim sekota mereka, Atletico Madrid, pun lolos ke partai puncak dengan
skenario yang tak jauh berbeda. Terkenal dengan permainan keras dan cenderung
kasar, Los Rojiblancosdiprediksi akan menumpuk pemain tengah dengan
tipikal bertahan.
Akan tetapi, Diego
Simeone justru memainkan dua striker sekaligus, Diego Costa
dan Adrian Lopez. Adrian mampu menjawab kepercayaan Simeone dengan golnya yang
menyamakan kedudukan menjadi 1-1, setelah sebelumnya Chelsea unggul lebih
dahulu lewat gol Fernando Torres. Lagi-lagi gol tandang membuat mental Chelsea
sebagai tuan rumah melemah. Konsentrasi John Terry dkk. pun pecah dengan
desakan mencetak gol untuk mengejar ketertinggalan. Dan kekosongan di lini
belakang pun mulai sering terjadi, sehingga Atletico bisa mencetak dua gol
tambahan yang membuat mereka menang 3-1 di Stamford Bridge.
Tak selamanya gol tandang
menjadi penyebab kegagalan sebuah tim yang kalah agregat. Yet, this
semifinal matches prove that understanding the “flaw” in away goal does make
differences. Seorang pelatih harus waspada memanfaatkan segala sesuatu
dan menyesuaikan timnya untuk meraih kemenangan. Kali ini, gol tandang lah yang
menjadi kunci bagi duo Madrid menuju Lisbon.
Sumber foto:
ftbpro.com
0 comments