Malaikat Izrail Sepak Bola
March 27, 2014
Izrail, atau biasa
disebut malaikat maut, adalah salah satu malaikat utama Tuhan yang diplot
sebagai algojo pencabut nyawa manusia. Jiwa warna-warni kehidupan, lenyap tanpa
jenjak. Sepi, suram dan kelam. Hitam, mungkin itu saja warna setelah kematian.
Satu sisi dan satu arus. Itulah refleksi kematian.
Memang saya belum pernah
merasakan kematian. Tapi ditinggal mati oleh orang-orang tersayang, saya dan
mungkin Anda pernah mengalami hal tersebut. Rindu akan tutur bicaranya, rindu
akan tawanya, atau bahkan rindu dengan amarah dan gerutunya.
Dalam gejolak emosi yang
labil, menunjuk hidung malaikat Izrail adalah tindakan yang mungkin kita
lakukan. Mencabut memori-memori indah bersama orang tersayang, dan mendorong
kita ke jurang pekatnya kehidupan. Pilu dan lara menghampiri ketika menyadari
hampir seluruh usia kita habis bersama dirinya. Seluruh tubuh pun mati rasa
dibuatnya.
Ketika ingatan membawa
kita pada masa-masa bersama orang tersayang, tak hanya kerinduan, namun rasa
sesal pun mungkin menghampiri. Pengandaian mulai muncul ke permukaan. Komparasi
pun mulai dilakukan.
Dahi mulai berkerut, dan
kita pun bertanya, “Mengapa Tuhan ciptakan malaikat Izrail?”
Saya amat berduka ketika
sesosok yang bisa kita sebut “Izrail” merusak kehidupan saya bersama “orang”
yang saya sayang. “Seorang” yang pasti juga Anda sayangi. Kita mencintai
“orang” tersebut. Kita mengetahui sifat dan tingkah lakunya. Kita peduli dan
sayang kepadanya. Dan kita rindu akan kehadirannya kembali. Dan ia bernama
sepak bola.
Sepak bola memang masih
hidup. Namun kini ia dalam kondisi kritis. Tak ada lagi senyum bahagia pada
dirinya. Tak ada lagi hasrat dalam hidupnya. Dan “Izrail” sepak bola pun mulai
diperintahkan Tuhan untuk segera menghabisi nyawanya.
Ketika sepak bola menjadi
sebuah industri, hiburan adalah fokus utama dari industri tersebut. Tak hanya
penggerak industri sepak bola, pelaku sepak bola pun mengamini bahwa sepak bola
adalah salah satu perangkat kehidupan untuk menikmati hiburan.
Johan Cruyff masih bisa
sedikit tersenyum ketika harus menelan pil pahit kekalahan atas tim Jerman
Barat di partai puncak Piala Dunia 1974. Ia memperlihatkan raut wajah bahagia,
ceria, dan kagum akan permainan atraktif timnas Belanda saat itu, yang dikenal
dengan istilah Total Football. Itulah kehidupan hakiki ketika Tuhan
menunjukan keadilan di depan umatnya.
Namun kini Tuhan seakan
berpihak pada sosok “Izrail”. Tak memberi sedikit pun senyuman harapan pada
sang umat yang sedang bersiap ditinggal sang kekasih.
Setelah mencabut nyawa
sebagian Eropa Selatan, kini Izrail sepak bola mulai mendekat ke wilayah Eropa
Barat. Dari Catalunya, hingga Bavaria. Dari Blaugrana hingga Die
Roten.
Braunschweig mungkin
menjadi tim terdepan yang meneriakkan keadilan. Sekujur tubuhnya sudah mati
rasa ketika melihat perolehan poin dari sang pemimpin klasemen. Dan Pep
Guardiola, sebagai Izrail sepak bola, harus bertanggung jawab berkaitan hal
tersebut.
Filosofi sepak bola Pep
yang mengedepankan possession football dengan menumpuk
sejumlah pemain di lini tengah, hampir mustahil ditandingi oleh tim mana pun.
Bersama Barcelona, Pep terlihat menyatu sebagai satu kesatuan yang kokoh. Garis
keturuan sebagai Catalan murni mungkin juga penyebab keberhasilan taktik
tersebut.
Kepindahannya ke Bayern
Munchen menjadi tantangan tersendiri bagi Guardiola untuk menjawab keraguan
filosofinya. Ketika ada perpindahan baik jiwa dan raga, komparasi pun bisa
dilakukan. Dan hasilnya, Pep benar-benar menjelma menjadi Izrail sepakbola
sejati!
F.C Hollywood, ketika ditangani Heynckes, terkenal
dengan direct football yang hampir mirip dengan kick
and rush ala sepak bola Inggris. Mereka begitu dominan namun tetap
atraktif. Tetapi perlahan permainan atraktif itu mati seiring dengan kedatangan
Pep Guardiola.
Total 25 kemenangan dan 2
hasil imbang dari 27 laga adalah bukti matinya sepak bola di Bundesliga.
Catatan rata-rata 80% ball possession semakin
menambah kantuk penonton bola yang menyaksikan pertandingan mereka melalui
pesawat televisi atau di stadion sekalipun. Eksistensi hiburan dalam sepak bola
pun kian pudar.
Kita rindu sepak bola
yang dulu. Yang penuh aksi dan kompetisi. Bukan aksi aliran bola dari kaki ke
kaki, bukan pula kompetisi nan sepi.
Rindu kehadiran Spaniard
football, body crash football, catenaccio, total football, kick and rush,
atau bahkan negative football. Mungkin Tuhan sedang muak
dengan sepak bola saat Ia menciptakan Pep Guardiola.
0 comments