Premier League, Bukanlah Yang Terbaik

February 28, 2014


Pada tahun 1888, untuk pertama kalinya sebuah negara membuat liga sepak bola professional. Hampir semua orang di dunia tahu negara apa yang saya maksud. Inggris adalah sang pelopor olahraga, yang kini menjadi olahraga terpopuler sejagat-raya, sepak bola. Sebagai negara perintis, wajar jika Inggris memiliki mindset sebagai negara terhebat dalam ranah sepak bola. Namun, benarkah demikian?
Prestasi tim nasional Inggris di kancah internasional jauh dari kata superior. St George's Cross baru mampu mendapatkan sebiji trofi Piala Dunia, itu pun ketika Inggris menjadi tuan rumah di tahun 1966. Sedangkan untuk gelar Piala Eropa, tak sekalipun Inggris berhasil mengangkatnya.
Di sisi lain, Inggris boleh berbangga hati ketika diajak berbicara European Champions League (UCL). Tim asal Inggris telah 12 kali menjuarai juara kompetisi yang dimulai sejak tahun 1955 ini. Tim asal Italia juga telah mencium piala ini sebanyak 12 kali. Mereka menduduki peringkat dua peraih trofi UCL terbanyak. Peringkat pertama diduduki Spanyol dengan 13 kali juara, sementara Jerman masih bertengger di satu digit, 6 trofi saja.
Uniknya, Spanyol dan Italia menorehkan catatan tersebut hanya melalui perwakilan 2 kota saja. Spanyol dengan Real Madrid (9 gelar) dan Barcelona (4 gelar), sedangkan Italia diwakili oleh duo kota Milan, A.C Milan (7 gelar) dan Inter Milan (3 gelar), dan tim asal Turin, Juventus (2 gelar). Inggris menjadi negara yang paling banyak perwakilannya di antara yang lain. Lima tim yang mewakili 5 kota, yaitu Liverpool (5 gelar), Manchester United (3 gelar), Nottingham Forest (2 gelar), Chelsea (1 gelar) dan Aston Villa (1 gelar).  
Berdasarkan fakta tersebut, Cockneys, Scousers, maupun Mancunians dengan lantang berdeklarasi bahwa setiap sudut kota Inggris, memiliki kekuatan yang sama baiknya. Hal ini pun bisa dilihat dari ketatnya persaingan di Liga Inggris. Sebut saja saat Sunderland berhasil menundukkan Manchester City, Aston Villa mengalahkan Arsenal, atau saat Swansea City membungkam Manchester United. Fenomena tim-tim gurem yang mengalahkan tim-tim besar ini sangat sulit ditemui di liga-liga top lainnya. Kesetaraan kekuatan seantero Inggris tersebut membuat pemain dan pendukung tim asal, maupun tim nasional Inggris angkuh dan merasa bahwa merekalah yang terbaik.
Publik kian skeptis akan Liga Spanyol dan Liga Jerman dikarenakan gap yang begitu besar antara papan atas dan tengah. Entah Real Madrid dan Barcelona yang terlalu kuat atau tim-tim lain di Liga Spanyol yang terlalu lemah. Entah Bayern Munchen yang merajalela atau tim-tim lain yang tak tahu cara bermain sepak bola. Perebutan title yang hanya melibatkan 2 atau 3 tim adalah pertanda nihilnya kesetaraan kekuatan. Benarkah kesetaraan kekuatan menjadi tanda kekuatan?
Kesetaraan kekuatan sesungguhnya tidak menggambarkan kekuatan mutlak. Kesetaraan kekuatan hanyalah sebuah skala relatif yang pemakaiannya bergantung pada kondisi lingkungannya. Kesetaraan kekuatan hanya menggambarkan tingkat kekuatan yang sama, entah sama-sama kuat, atau sama-sama lemah. Sungguh tak ada beda antara kesetaraan kekuatan dengan kesetaraan kelemahan. Setengah isi dengan setengah kosong.
Untuk mengetahui apakah kekuatan yang setara itu adalah mutlak kuat atau justru sebaliknya, dibutuhkan proses standardisasi. Di sinilah European Champions League berperan. Piala Champions adalah parameter “kekuatan yang sesungguhnya”.
Tim-tim Spanyol semisal, Real Madrid dan Barcelona yang, katanya, hanya jago di Liga Spanyol, ternyata berhasil menaklukkan lawan-lawan yang, katanya, berasal dari liga terbaik dunia. Para pemain dan pendukung nampaknya harus membuka mata dan telinga atas hasil yang didapat oleh Arsenal, City, Chelsea, dan Manchester United. Sudah saatnya para pendukung tim-tim Inggris untuk kembali ke dunia nyata dan mengikrarkan bahwa “Premier League, bukanlah yang terbaik”.
Kesetaraan kekuatan di liga mereka ternyata setengah kosong. Perebutan title di Liga Inggris terjadi sangat ketat karena mereka sama-sama lemah. Kesetaraan kelemahan. Tak satupun tim yang menonjol, layaknya di Liga Spanyol atau Liga Jerman. Senasib dengan tim-tim asal Inggris, tim nasional Inggris, yang kebanyakan dihuni oleh para pemain yang bermain di liga sendiri, juga sebenarnya tengah mengalami pelemahan.
Mungkin sudah garis tangan Inggris untuk bernasib demikian. Selain sepakbola, Inggris juga menemukan cabang olahraga cricket dan badminton. Namun, negara ratu Elizabeth itu justru hanya menjadi selingan juara untuk tim-tim dari negara lain. Cricket banyak didominasi oleh commonwealth countries seperti India, Pakistan atau pun Australia, sedangkan badminton justru di dominasi negara-negara Asia semisal China, Indonesia, Korea dan juga Malaysia.
Seperti si kelinci di fable Kelinci dan Kura-Kura. Inggris unggul saat start namun malah berleha-leha dan gagal sampai duluan di garis finish.

You Might Also Like

0 comments