Sentimen Taktik Anti Football
January 22, 2014Tersingkirnya Ajax dari fase grup Liga Champions musim ini, kembali mengangkat terminologi yang tak asing lagi didengar: Anti-Football. Kala itu, pelatih Ajax, Frank De Boer mengkritik habis-habisan cara bermain AC Milan yang dinilainya telah melukai dan mencoreng etika sepakbola yang berazaskan fair play dan juga respect.
Penggunaan kata anti-football sebenarnya
sudah muncul ke permukaan jauh sebelum kasus AC Milan melawan Ajax pada
Desember lalu. Pada tahun 1968, Gary Armstrong dan Richard Giulianotti pun
sempat memberikan “sanjungan” ini kepada tim asal Argentina, Estudiantes de La
Plata, dalam buku “Fear and Loathing in World Football”.
Begitu juga dengan salah
satu aktor utama taktik total football pada tahun 70-an, Johan
Cruyff. Ia menolak keras konsep anti-football tersebut. Cruyff
mengkritisi cara bermain Brazil, yang menjuarai Piala Dunia 2002 di
Korea-Jepang, yang, menurutnya, hanya memaksimalkan serangan dari
kesalahan-kesalahan lawan.
Tak berhenti sampai di
situ. Cruyff bahkan mencela negaranya sendiri, Belanda, saat tim Oranjeberhasil
lolos ke final Piala Dunia 2010, dengan alasan yang sama, Anti-Football.
Tak heran memang, Cruyff
memang identik sebagai penganut sepakbola yang mengutamakan estetika permainan
dan gerakan yang dinamis dari setiap individunya. Filosofi Cruyff membuat
timnas Belanda, pada masanya, menjadi tim terindah untuk disaksikan. Walaupun
akhirnya Belanda gagal pada final Piala Dunia 1974 karena kalah dari Jerman
Barat.
Tapi apa sebenarnya anti-football itu?
Mengapa taktik ini seolah dibenci oleh para purist yang
katanya menyukai keindahan?
Jawabannya mungkin
sederhana. Jika kemenarikan sebuah permainan bola terletak pada gol, maka anti-football malah
menciptakan cara-cara untuk menghentikan sebuah gol. Kreativitasnya bukan
dicurahkan untuk kreasi, tapi justru untuk menghancurkan.
Sentimen ini juga
didukung oleh sepakbola yang kini jauh lebih defensive dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Salah satu buktinya adalah perhelatan Piala Dunia 2010.
Semenjak turnamen ini diubah ke dalam format 32 peserta pada 1998, Piala Dunia
Afrika Selatan tercatat sebagai turnamen dengan gol paling minim.
Total gol yang tercipta
pada turnamen akbar tersebut hanya 145 gol, atau selisih 26 gol dari piala
dunia 1998 (15%-nya). Hal ini sering kali diasosiasikan dengan taktik anti-football yang
kian merajalela seiring dengan perjalanan sepakbola era modern yang kian defensive.
Dengan semakin
berkurangnya kemenarikan sepakbola dalam bentuk gol ini, tak heran banyak yang
memandang sinis pada taktik-taktik yang mengusung tema bertahan.
Salah Kaprah pada
Catenaccio
Kata “bertahan”, atau
“defensive” sering kali diasosiasikan dengan catenaccio. Bahkan,
banyak yang menganggap taktik grendel ini sebagai bentuk lain dari anti-football.
Ada pula yang menyebutnya sebagai, negative-football, atau
taktik murahan yang hanya mengandalkan 10 orang untuk “parkir” di kotak
penalti. Sebuah pandangan yang menurut saya tak adil.
Taktik gerendel, atau catenaccio, justru
adalah sebuah taktik kelas atas yang membutuhkan konsentrasi dalam bertahan,
sehingga mampu menetralkan serangan lawan dari berbagai sisi.
Dibandingkan catenaccio, penggunaan double-pivot justru
lebih "negatif". Memang sejatinya dua gelandang tengah ini memiliki
peran yang berbeda. Satu sebagai penghancur serangan, atau biasa disebut holding-midfielder. Sementara
yang lain ahli dalam melakukan transisi serangan dengan mengalirkan bola ke
lini tengah.
Namun tak jarang sebuah
tim justru menempatkan dua holding-midfielders. Taktik
yang, menurut saya, jauh lebih bertahan dari catenaccio.
Mourinho adalah nama yang
tak asing untuk masalah taktik negative-football. Ketika membesut
Chelsea, nama-nama pemain yang memiliki naluri bertahan yang tinggi kerap
menghiasi starting XI the special one. John Obi Mikel, Raul
Meireles, Essien, Ramires hingga David Luiz adalah pemain yang bertugas untuk
mematikan serangan lawan.
Tak hanya satu-dua,
Mourinho tak segan menurunkan tiga pemain bertipe ini pada saat yang bersamaan.
Tapi, baik itu catenaccio maupun
penggunaan double-pivot, keduanya menggunakan ruh yang sama, yaitu
bertahan. Tapi apakah benar keduanya adalah anti-football?
Menurut saya, yang
membedakan anti-football dengan taktik bertahan lainnya
terletak pada pemanfaatan komponen dan perangkat sepakbola lain. Misalnya saja ball-boy yang
mengulur waktu saat memberikan bola kepada tim tamu. Atau, menggunakan hal-hal
semacam pelanggaran, diving, atau kartu kuning, untuk mempersempit
gerak dan aksi tim lawan dalam pertandingan.
Sebuah taktik bisa
dikatakan anti-football jika, seperti yang dikatakan oleh De
Boer, taktik tersebut telah menodai azas fair play dan respect dari
permainan sepakbola itu sendiri.
Catenaccio atau ultra-defensive yang
diterapkan Mourinho, janganlah disamakan dengan anti-football karena
taktik tersebut adalah bentuk pencapaian dan apresiasi dari setiap pemain atas
kerja keras dan konsentrasinya ketika bertanding. Bukan pemanfaatan di luar
dari aspek pertandingan tersebut.
Sama-Sama Melahirkan
Inovasi di Atas Lapangan
Terlepas dari berbagai
sentimen tentang anti-football, mau tidak mau kita harus mengakui
keberadaan taktik bertahan. Mungkin suatu saat nanti, negative-football justru
akan berevolusi menjadi sebuah taktik yang lebih menarik. Seperti apa yang
sudah diutarakan oleh ahli semiotika Ferdinand de Saussure menyangkut arbitrariness
of the linguistic sign, setiap pemunculan kata atau terminologi baru
mencerminkan sisi berlawanan atau kesamaan dari kata tersebut.
Evolusi ini juga yang
terjadi pada sang pengusung jenis sepakbola satunya: sepakbola menyerang.
Contohnya adalah penderivasian taktik total football menjadi tiki-taka.
Lagi-lagi, Johan Cruyff lah yang menjadi biang keladi terjadinya taktik yang
kini menjadi simbol sepakbola Barcelona itu.
Sempat menjadi pemain
bintang Blaugrana, Cruyff pun sempat menduduki kursi kepelatihan
Barca dari tahun 1988-1996. Dalam rentang delapan tahun itu, Cruyff nampaknya
memiliki cukup banyak waktu untuk menanamkan filosofi total football.
Ketika total
football mengandalkan pergantian peran dan posisi kala menyerang, tiki-taka justru
lebih memfokuskan serangan pada ball-possessions. Benang merah yang
terjadi pada dua filosofi ini adalah kata serang. Serangan demi serangan
diluncurkan dengan harapan banyak gol tercipta.
Tapi inovasi itu tak
terjadi hanya di Barcelona.
Catenaccio, sebuah taktik yang diusung pada
tahun 60-an ini, juga mampu mengkonstruksi term baru yang bernama
libero. Jadi, kita tunggu saja, apa yang akan dibawa oleh Anti-Football ini
kelak.
...
Dipublikasikan di Pandit Football
0 comments