Kultur Sepak Bola Indonesia
December 23, 2013
Gerard Hendrik Hofstede
atau biasa dikenal dengan Geert Hofstede, adalah psikolog sosial asal Belanda
yang berhasil menganalisa kultur setiap negara melalui beberapa dimensi yang
tercermin pada setiap individu yang berada di negara tersebut. Teori yang
dikenal dengan culture dimension theory ini telah ia uji,
dengan mengamati berbagai macam elemen masyarakat mulai dari kaum pedagang,
akademisi hingga kaum elit, ketika dirinya menjabat sebagai pegawai IBM, salah
satu perusahan multinasional dan konsultan terkemuka.
Euforia garuda muda yang
dipimpin oleh Evan Dimas pada kejuaraan AFF U-19 kemarin, membuat rakyat
Indonesia berekspektasi lebih kepada timnas U-23. Hal ini mungkin adalah sebuah
beban yang terlalu berat untuk dipikul oleh para Garuda muda. Harapan rakyat
Indonesia untuk meraih emas di cabang sepak bola pada Sea Games kemarin gagal
mereka penuhi.
Djohar Arifin, La Nyalla
Matalitti, dan Roy Suryo berlomba-lomba mengambil simpati masyarakat dengan
mengatakan bahwa mereka lah yang patut disalahkan. Diam - diam mereka berharap
sikap ksatria itu bisa membuat rakyat Indonesia melunak. Namun, memang sudah
selayaknya, merekalah yang harus bertanggung jawab atas sepak bola Indonesia.
Peran mereka, kaum elit sepak bola, sangat besar di hampir setiap dimensi
kultur yang dikemukakan oleh Grett Hofstede.
Kekalahan Indonesia dari
Thailand pada Sea Games 2013 di Myanmar kemarin, kembali membuat saya bertanya
- tanya tentang identitas bangsa saya, yaitu Indonesia, khususnya identitas
sepak bola Indonesia. Mimpi-mimpi tentang berlaganya timnas Indonesia di ajang
terakbar sepak bola, Piala Dunia, atau meneriakkan nama pemain Indonesia yang
berlaga di klub - klub elit dunia, lagi - lagi terasa hanya akan menjadi
sebatas mimpi.
Apakah kekalahan sudah
membudaya di tim nasional Indonesia? Pada level mana kah sepak bola Indonesia
sekarang ini? Mampukah kita untuk bangkit? Pertanyaan yang sangat sederhana,
namun sulit untuk dijawab.
Sejalan dengan teori
Grett Hofstede, identitas sepak bola Indonesia tercermin melalui dimensi -
dimensi yang ia jabarkan pada analisanya. Terdapat 5 dimensi yang menggambarkan
kultur sepak bola Indonesia.
Power Distance
Atau bisa kita sebut
dengan kesenjangan sosial. Kesenjangan jarak antara masyarakat kaya dan miskin
cukup jelas terlihat di negara kita. Begitu juga dari sudut pandang sepak bola.
Yang memiliki kekuasaan tertinggi di sepak bola Indonesia seakan untouchable atau
tidak terjamah oleh kita, masayarakat, dan, bahkan, tidak terjamah oleh para
pemain sekalipun.
Tunggakan gaji pemain,
infrastruktur yang buruk, the two from many, bisa jadi bukan
murni produk dari kesalahan klub-klub tersebut. Sulitnya menjamah atau
berkomunikasi dengan para petinggi, membuat banyak klub yang terbengkalai tidak
bisa berkeluh kesah atas apa yang sudah menimpanya. Pemain, pelatih, staf
klub-klub Indonesia, tidak dirangkul secara merata, sehingga permasalahan kian
menjamur.
Individualism
Pada dimensi ini,
Indonesia terbilang rendah. Negara timur, khususnya Indonesia, terkenal dengan
sikap kolektivitas yang tinggi. Bhineka Tunggal Ika, begitu mereka menyebutnya.
Ideologi yang dipegang setiap saat, namun sayangnya, tidak di lapangan hijau.
Ketika kaum elit sepak
bola berlomba-lomba menunjukkan sikap “kolektivitasnya”, para pemain justru
kesulitan memperagakan kerjasama yang baik di atas lapangan. Saya percaya
sekali, skill individu Andik Vermansyah dan Bayu Gatra tak
kalah dengan pemain-pemain asal Brazil. Tak ada satu tim pun yang mampu melaju
hanya dengan kemampuan satu orang individunya. Well, Maradona is the
only exception.Hanya Maradona yang mampu berjuang sendiri dan meraih gelar
pada Piala Dunia 1986 di Meksiko. Rasa - rasanya menanti seorang juru
penyelamat, seperti Maradona, untuk datang ke Indonesia akan memakan waktu
berabad-abad.
Masculinity
Maskulin tidak feminin.
Sikap maskulin yang digambarkan oleh Grett adalah sikap-sikap seperti sikap
kompetitif, kekuatan dan juga matrealis. Sejauh mana sepak bola Indonesia bisa
berkompetisi dengan baik? Kuat kah sepak bola Indonesia? Sejauh mana sepak bola
bisa menguntungkan kita, baik secara moril maupun materil? Sepak bola Indonesia
masih terlalu feminis.
Uncertainty Avoidance
Dimensi ini menggambarkan
arah. Kemanakah sepak bola Indonesia ini akan dibawa? Dimensi ini menilai
kemampuan sebuah kultur untuk membuat planning yang baik,
regulasi yang jelas dan sistem keamanan yang baik.
Sudah sepatutnya PSSI
mempunyai plan A atau plan B untuk menghadapi
masalah-masalah seperti fakir prestasi atau masalah intern sepak bola nasional.
Sekedar plan A dan plan B saja tak cukup.
Setiap rencana butuh konsistensi target dan eksekusi. Namun, yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya. Rencana yang sudah dirancang sedemikian rupa
berhenti tiba - tiba, atau bahkan diubah mendadak hanya karena perubahan
susunan kaum elit.
Long-Term Orientation
Indonesia sempat meniru
strategi Singapura yang berhasil dengan pemain - pemain naturalisasinya.
Strategi sama, yang sayangnya, tidak berbuah kegemilangan yang sama. Indonesia
masih tetap gagal dengan deretan pemain berwajah bule.
Investasi jangka panjang seperti
pembinaan pemain muda, beasiswa pemain muda berbakat, dan trial ke
klub-klub di luar Indonesia, untungnya sudah mulai dijalankan oleh para pelaku
sepak bola Indonesia, membuat identitas sepak bola instan, perlahan pergi dari
citra tim nasional Indonesia. Toh, hasil yang didapat secara instan biasanya
juga tidak akan bertahan lama di genggaman.
Terlepas dari permainan
Indonesia yang baik pada partai final menghadapi Thailand, kemarau panjang yang
sudah berumur 22 tahun ini harus dihentikan. Indonesia harus berbanah di setiap
dimensi kultur, agar mimpi rakyat Indonesia untuk melihat tim sepak bolanya di
jenjang yang lebih tinggi dapat terwujud.
0 comments