It’s All about Fashion

December 16, 2013


“Whoever said that money can’t buy happiness, simply didn’t know where to go shopping”
Begitu lah kira-kira jawaban yang akan terlontar dari Bo Derek salah satu actress asal Amerika ketika ditanya tentang apa itu fashion. Suatu kenikmatan tiada tara jika anda mendapatkan barang dengan desain bagus, kualitas bagus dan dengan harga yang sangat murah. Memang tak mudah untuk mendapatkan itu, dibutuhkan observasi yang panjang untuk tahu dimana dan kapan waktu yang tepat untuk membelinya.
Mungkin Andre Villas Boas adalah orang yang kurang tepat untuk ditanya mengenai fashion. Untuk urusan ini, Joachim Low jauh mengungguli AVB dalam urusan fashion, yang hanya mengenakan suit dan skin tieandalannya. Low akan mengkombinasikan kemeja yang cerah dengan V-neck vest ditambah balutan cardigan hitamnya.
Fashion atau yang kadang kita sebut dengan mode, adalah suatu bentuk ekspresi keorisinilan seseorang. Mengikuti fashion, bukan berarti menjadi plagiator, namun semata keinginan hati lah yang memilih untuk mengikuti suatu trend dalam fashion.  
Pengertian fashion pun bermacam-macam. Ada yang menyebutkan bahwa fashion adalah gaya terpopuler pada masa kini, atau masa-masa tertentu, yang berhubungan erat dengan aspek kehidupan sosial, budaya dan bahkan sepakbola.
Dalam sepakbola, menghambur-hamburkan uang jutaan euro adalah trend yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Bertujuan “mempercantik diri”, klub-klub tersebut rela membeli “pernak-pernik” dengan harga jutaan dollar. Dan pertanyaannya, berhasil tampil “cantik” kah mereka?
Tottenham Hotspurs mungkin bisa menjadi sample yang baik untuk kasus tersebut. Menggelontorkan dana sebesar 107 juta Euro di musim panas ini, tidak memberikan kebahagiaan kepada pendukung spurs sama sekali. Mereka dipencundangi Manchester City 6-0 dan diperkosa habis-habisan oleh Liverpool tadi malam.
Seperti kutipan Derek diatas, hilangnya kebahagian Tottenham disebabkan oleh faktor salah alamat. Mereka salah mengunjungi department store atau bahkan tak tahu harus pergi kemana untuk membeli pemain yang benar-benar bagus, berkualitas dan bisa memberikan kebahagian walau hanya sesaat.
Erik Lamela, Etienne Capoue, Roberto Soldado, Nacer Chadli, Paulinho dan Vlad Chiriches belum menampilkan gaya yang diinginkan fans Spurs. Mungkin hanya dua nama terakhir yang bisa dikatakan sebagai pembelian yang tepat untuk Spurs musim ini. Sisanya? Old-fashioned!
Mungkin Franco Baldini dan koleganya, Daniel Levy, panik ketika menerima uang hasil penjualan Bale sehingga mereka latah, ingin cepat-cepat menutupi kekosongan Bale dengan membeli banyak pemain. Tak beda halnya dengan acara uang kaget, para penerima kerap membeli barang-barang yang tidak sesuai kebutuhan dan bahkan tak ada nilai investasinya.
Namun, seperti yang sudah saya sampaikan diatas bahwa fashion juga berhubungan dengan budaya. Ketujuh pemain yang dibeli Tottenham musim ini berasal dari luar Liga Inggris. Demografi yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan budaya dan gaya. Liga Inggris adalah sebuah liga yang keras, dimana seorang pemain dituntut untuk memiliki kecepatan dan stamina yang luar biasa demi menampilkan kick and rush, fashion style-nya tim-tim Inggris.
Soldado yang terbiasa menjadi target-man di lini depan Valencia, kini harus susah payah menjemput bola dari lini kedua karena kurangnya supply bola entah dari lini tengah atau pun sayap Tottenham yang kalah bersaing. Chadli dan Lamela yang dulunya menjadi salah dua pemain yang memiliki kecepatan pada sisi sayap di liganya masing-masing, kalah bersaing cepat dengan level pemain buangan, Townsend, yang justru lebih impresif dimusim ini.
Namun, fashion pun bukan hanya sekedar masalah kualitas dan harga. Fashion juga menilai bagaimana sebuah subject memakai suatu barang ditempat dan waktu yang tepat.
Positifnya, pembelian AVB sudah tepat. Namun ia tak mengetahui bagaimana dan kapan memakai “barang-barang” yang sudah terlanjur dibelinya, apalagi dengan siklus Liga Inggris yang memiliki berbagai macam zona waktu, seperti boxing day misalnya. Mix and match pun harus sering dilakukan AVB jika ingin berpergian.
Yang jelas, pembelian - pembelian gila Tottenham tak sebanding dengan pencapaiannya di Liga Inggris selama ini. Entah karena mereka ini hanya sebatas shopaholic atau memang sudah style-nya Tottenham Hotspurs dengan menjadi tim medioker?
Mungkin AVB masih harus belajar lagi dari Coco Chanel sang fashion designer asal Perancis, yang berkata, “fashion changes, but style endures”. Sebuah kalimat indah yang juga diamini oleh Giorgio Armani, “the difference between style and fashion is quality”.

You Might Also Like

0 comments