Membangun Industri Sepak Bola Indonesia
November 25, 2013
"Chaos in the
world brings uneasiness, but it also allows the opportunity for creativity and
growth."
Kutipan yang saya ambil
dari ahli politik asal Amerika, Tom Barrett, sangat sesuai dengan kondisi
Indonesia sekarang ini. Baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan bahkan
dalam industri sepak bola Indonesia sekali pun.
Kritik, cercaan, makian,
dan hinaan terhadap sepak bola Indonesia sering sekali kita dengar. Impian
menjadi negara yang setidaknya tampil di Piala Dunia pun tampaknya sudah tak
lagi terlintas dalam benak kita atau pemain tim nasional kita sekalipun.
Sedikit sekali terlihat sikap solutif dari orang-orang yang kerjaannya hanya
mengkritik terus menerus.
Manusiawi memang bagi
masyarakat Indonesia yang merindukan riuhnya sorakan kemenangan di
tengah-tengah polemik yang terjadi di Indonesia. Sudah selayaknya Indonesia
menyandang label sebagai negara suporter sepak bola ketimbang sebagai negara
sepak bola.
Dualisme liga,
penunggakan gaji pemain hingga ulah suporter merujuk pada kondisi chaos, yang
tergambarpada kutipan Tom Barrett di atas. Namun menurut Barret, ada secercah
harapan dan peluang bagi sepak bola Indonesia untuk menjadi kreatif dan
akhirnya berkembang setelah mengalami pergejolakan tersebut.
Menjadi juara Piala AFF
U-19 dan sekaligus lolos ke Piala Asia 2015, dan berhasil menahan salah satu
raksasa China 1-1 di GBK dan terakhir menjuarai MNC Cup, adalah bukti sepak
bola Indonesia sedang berkembang.
Namun cukup kah semua
itu?
Korelasi yang terjadi
pada kata sepak bola dan industri adalah titik yang fundamental yang perlu kita
kembangkan. Suatu perusahaan menginginkan keuntungan baik secara sisi finansial
dan sisi brandingmereka sendiri. Pun demikian dengan sepak bola
Indonesia, mereka ingin sehat secara materi, sistem, dan tentu saja prestasi.
Ungkapan Barrett pun
sejalan dengan teori Greiner tentang Growth Model. Suatu teori yang mengungkap
fase-fase untuk membangun sebuah perusahaan dan cara penyelesaian masalah di
setiap fasenya. Hemat saya, fase-fase ini adalah sebuah bentuk sikap solutif
yang bisa digunakan untuk membangun industri sepak bola Indonesia.
Kreativitas (Creativity)
Ketika kita ingin
membangun sebuah usaha, ide adalah hal yang paling pertama harus kita kejar.
Sejauh mana kreativitas ide kita, sejauh itu pula usaha kita akan berkembang.
Sejauh mana kreativitas para pelaku sepak bola Indonesia, sejauh itu pula sepak
bola kita akan maju.
Namun pada fase tersebut,
Greiner mengukapkan, krisis kepemimpinan menjadi hal yang sering terjadi.
Karena sepak bola mencakup banyak sekali elemen, baik dari kepengurusan,
kepelatihan, pemain, dan perangkat pertandingan lain, sulit sekali menemukan
pemimpin yang benar-benar bisa memimpin setiap bidangnya.
Tujuan (Direction)
Tujuan atau arah adalah
salah satu solusi untuk menyelesaikan krisis kepimpinan pada fase pertama.
Dimana menempatkan pemimpin yang benar-benar berkompeten akan membuat usaha
kita berada pada tujuan dan perkembagan usaha yang tepat. Saat sepak bola kita
dipegang oleh orang-orang yang berkualitas dan profesional pada sepak bola
Indonesia, tentunya fase ini akan membawa Indonesia ke jalan yang benar.
Namun, kendala yang akan
terjadi pada fase ini adalah krisis otonomi. Yaitu krisis dimana di setiap
elemen tersebut baik kepengurusan, kepelatihan, pemain, dll. lebih mementingkan
diri mereka sendiri, ketimbang kesuksesan sepak bola Indonesia secara
keseluruhan.
Perwakilan (Delegation)
Perwakilan atau utusan
menjadi jawaban dari krisis otonomi diatas. PSSI membutuhkan setiap perwakilan
untuk mencegah terjadinya diskriminasi di setiap elemen sepak bola ataupun dari
setiap PSSI wilayah lain.
Namun terkadang lahirnya
setiap perwakilan ini menimbulkan krisis kendali antara utusan tersebut dengan
pimpinan daerah setempat. Ambil contoh, ketika PSSI telah mengambil keputusan
untuk menyatukan liga, PSSI wilayah masih saja terhalang kendala yang berbeda –
beda di wilayahnya masing – masing.
Koordinasi (Coordination)
Untuk menghilangkan
krisis kendali pada fase perwakilan, koordinasi dibutuhkan pada level ini.
Dengan lebih mendalami masalah setiap daerah atau setiap tingkatan, sepak bola
Indonesia menjadi lebih jeli akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
Koordinasi masalah suporter, sponsor, dan tentunya performa timnas akan
mengokohkan kita sebagai satu kesatuan.
Akan tetapi, rade
tape crisis, atau biasa disebut krisis birokrasi lazim terjadi pada
fase koordinasi. Pembuatan laporan yang berbelit dan manipulasi dokumen bisa
menjadi sumber terjadinya perbedaan pendapat dari berbagai lapisan pelaku sepak
bola Contohnya: yang satu ingin pemain naturalisasi yang satu tidak, proses pun
menjadi panjang dan tambah berbelit.
Kolaborasi (Collaboration)
Tingginya ego disetiap
elemen menuntut kombinasi kolaborasi yang tepat untuk berkembang. Saling
mendukung disetiap bidang, entah itu kepengurusan PSSI, staf pelatih dan juga
pemain dan penyederhanaan birokrasi yang ada bisa menjadi lngkah awal terjadinya
kolaborasi yang baik untuk tujuan membangun dan memajukan sepak bola Indonesia.
Aliansi (Alliance)
Ketika 5 fase tersebut
sudah dapat kita laksanakan, fase terakhir yang harus dihadapi adalah aliansi
atau gabungan, untuk mewujudkan industri sepak bola yang tidak statik dan terus
berkembang. Ketika fondasi yang kuat sudah terwujud, potential partners pun
tak akan takut untuk bekerjasama dengan sepak bola kita.
Ketika 6 fase tersebut
sudah terlaksana, ada baiknya bagi orang-orang yang berperan aktif dalan
industri sepak bola Indonesia tersebut, untuk memposisikan dirinya seakan
keluar dari sistem industri sepak bola Indonesia agar bisa melihat
persepakbolaan Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut
pandang ini bisa menjadi penilaian secara keseluruhan, sudah sejauh mana
industri sepak bola yang sudah mereka, anda, dan kita bangun.
Siapkah kita untuk
melangkah melalui semua fase tersebut?
0 comments