Romantisisme Liverpool

October 28, 2013


Ketika kita mendengar kata romantisisme, hal pertama yang terpikir di benak kebanyakan orang adalah cinta dan kemesraan. Namun pada hakikatnya, romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra, dan intelektual yang terjadi pada abad ke-18 di Eropa untuk melawan aristokrasi sosial dan norma-norma politik pada Enlightement Age (Zaman Pencerahan), yang terkenal dengan interpretasi alam melalui pemikiran rasionalnya.
Gerakan ini memiliki dasar pemikiran bahwa estetika atau keindahan adalah sesuatu yang timbul sebagai akibat dari emosi yang kuat, semacam rasa bangga atau rasa takut, yang diterima sesorang dari lingkungan. Revolusi industri lah yang memberikan wake-up call kepada kaum minoritas ini untuk melakukan sebuah perubahan.
Liverpool di musim ini sedang mengalami apa yang kaum minoritas itu rasakan pada zamannya. Liverpool sedang berada pada zaman dimana sebuah ide atau pemikirannya tidak bisa diterima oleh akal sehat. Zaman dimana sebuah keindahan dalam permainan datang dari emosi atau insting yang kuat. Zaman dimana industri sepak bola adalah identitas sepak bola itu sendiri.
Liverpool menjalani awal musim ini dengan sebuah ide yang dianggap gila oleh sebagian banyak orang. Apa itu? Penggunaan formasi 3-5-2. “Really Liverpool, like, seriously?” adalah reaksi yang terlontar dari mulut banyak orang ketika mengetahui starting lineup Liverpool. Liverpool dianggap memainkan pola permainan kuno yang seharusnya sudah musnah ditelan formasi-formasi ajaib era sepak bola modern.
Namun, duduk di posisi kedua klasemen sementara Liga Inggris dan hanya terpaut 2 poin dari pemuncak klasemen, Arsenal, menjawab keraguan dan pandangan negatif atas apa yang sudah Brendan Rodgers lakukan sejauh ini. Bayangan-bayangan kopites untuk kembali merasakan masa jayanya pun kini mulai nampak di permukaan.
Brendan Rodgers membuat Liverpool terlihat lebih indah dalam permainan. Selain insting yang kuat, yang memang wajib dimiliki setiap pelatih, emosi juga mempengaruhi Rodgers untuk mengambil sebuah keputusan. Pemilihan formasi 3-5-2 adalah buntut dari rasa takut yang dimiliki Rodgers. Ketakutan dalam hal bertahan yang selama ini menjadi titik lemah Liverpool. Sebuah seni yang indah di lapangan hijau berawal dari rasa takut sang pelukisnya. Romantisisme.
Jika Rodgers merasa lini belakang adalah kelemahannya, lalu mengapa ia memilih untuk memainkan 3 pemain belakang? Bukankah lebih baik jika memakai 4 pemain belakang? Disitulah letak salah satu bagian dari keindahan seni yang diukir Rodgers. Secara kasat mata memang terlihat Liverpool kekurangan pemain belakang, namun pada prakteknya, mereka memakai 5 pemain ketika bertahan. Dalam 4 pertandingan terakhir, Liverpool memakai Mamadou Sakho, Martin Skrtel, dan Kolo Toure sebagai tiga central defendersLiverpool. Pertahanan Liverpool yang terkonsentrasi membuatnya sulit ditembus baik melalui umpan-umpan silang, umpan terobosan, maupun skill individu pemain lawan .
Absennya Glen Johnson pada awal musim membuat formasi tersebut dapat terealisasi. Martin Kelly, yang tidak bisa menggantikan peran Johnson dengan baik, memaksa Rodgers menghilangkan posisi tersebut dan lebih mengandalkan fungsi wing-back dalam permainan Liverpool. Jordan Henderson sempat diinstruksikan oleh Rodgers untuk menempati posisi tersebut. Naluri menyerangnya yang tinggi berhasil membuat serangan Liverpool hidup di sisi kanan. Namun, bagaimana peran Henderson dalam pertahanan? Karena salah dua sifat yang harus dimiliki oleh seorang wing-back adalah rajin melakukan serangan dan membantu pertahanan.
Keunggulan memakai tiga bek tengah pun muncul untuk menutupi kekurangan tersebut. Kolo Toure berhasil menutup lubang yang ditinggalkan Henderson, yang notabene lemah dalan hal tracking back. Sedangkan Skrtel dan Sakho akan bergeser dan merapat mengisi jantung pertahanan Liverpool. Kini Glen Johnson sudah mulai pulih. Ia mampu bertahan dan menyerang dengan baik pada sisi kanan, sehingga permainan Liverpool semakin matang.
Sedangkan pada posisi wing back kiri, Liverpool tidak mengalami masalah sama sekali. Baik Aly Cissokho maupun Jose Enrique menjalankan tugas seorang wing back dengan baik sehingga menambah kepadatan di lini pertahanan Liverpool.
Liverpool menyisakan 3 pemain tengah pada pola 3-5-2 ini. Double pivot Lucas dan Steven Gerrard menjadi jangkar lini tengah Liverpool. Henderson pun siap menjadi pelapis kedua pemain ini yang memiliki kualitas sama baiknya. Philippe Coutinho sementara menjadi pemain yang hilang saat ini di Liverpool. Namun, Victor Moses sejauh ini berhasil menjadi penyambung lidah sementara Liverpool ke lini depan.
Dan sebagai pelengkap romantisisme Liverpool, variasi emosi lain, yaitu rasa bangga, yang dimiliki Rodgers membuat dirinya memilih duet striker Luis Suarez dan Daniel Sturridge sebagai ujung tombak Liverpool. Rodgers bangga dan percaya kedua pemain ini bisa menampilkan estetika sepak bola. Kedua pemain yang bisa dikatakan sebagai tipe pemain 9.5 pada tim. Mereka bisa menjadi pemain bernomor 9 yang dikenal sebagai target man dan juga mampu menampilkan permainan yang mendekati peran pemain nomer 10 yang menjadi pengatur dan aktif dalam membangun serangan. Suarez dan Sturridge aktif melakukan position interchanges dalam permainan. Suarez dan Sturridge bergantian menjemput bola ke lini kedua.
Liverpool menjadi minoritas yang menentang norma-norma sepak bola modern dan juga melawan industri sepak bola yang akrab dengan hedonism. Romantisisme ini yang membuat Liverpool benar-benar berubah, setidaknya sampai saat ini. Tak heran jika kelak romantisisme ini berbuah romansa baru di Anfield.

You Might Also Like

0 comments