Dimensi Seorang Pemenang Dan Pecundang

October 14, 2013


Tak bisa dipungkiri, dalam setiap pertandingan, baik kejuaraan maupun kompetisi akan selalu menghasilkan pemenang dan pecundang. Euforia telah dirasakan seluruh elemen masyarakat Indonesia baru – baru ini atas keberhasilan garuda muda lolos keputaran final Piala Asia U-19 di Myanmar 2014 mendatang. Euforia ini adalah bentuk dukungan agar timnas Indonesia U-19 bisa meneruskan tradisi menjadi juara ini, seperti yang sudah mereka lakukan pada kejuaran Piala AFF U-19 kemarin.
Gen pemenang yang terpatri pada timnas Indonesia U-19 ini seolah membuat kita amnesia sesaat akan hadirnya timnas Indonesia pada level-level lainnya, timnas U-23 dengan Andik Vermansyah, Okto Maniani, dan Syamsir Alam-nya dan timnas senior dengan Boaz Solossa, Hamka Hamza, dan Sergio Van Dijk-nya. Siapa mereka? Dan sayapun mulai amnesia.
Perbandingan taktik dan permainan timnas U-19 dengan timnas – timnas lainnya pun seakan membuang-buang waktu, karena memang sudah secara gamblang terlihat, PERMAINAN TIMNAS INDONESIA U-19 JAUH LEBIH BAIK DARI TIMNAS INDONESIA LEVEL MANAPUN! Namun, jika saya harus memberi satu jawaban yang bisa menjelaskan perbedaan antar level timnas tersebut, saya bisa mengatakan bahwa pemain U-19 memiliki kekompakan dan IQ di atas rata – rata, U-23 masih bertahan dengan Andik sentris-nya dan timnas senior dengan permainan tak berpolanya.
Banyak hal lain yang bisa menjadi perbedaan antara seorang pemenang (baca: timnas U-19) dengan seorang pecundang (baca: youknowwho). Dan melalui tulisan ini, saya tertarik untuk membandingan timnas U-19 dengan timnas level lainnya dengan komparasi dimensi.
Mungkin bagi anda yang ahli Matematika ataupun Fisika, atau bahkan ahli desain akan mengerti perbedaan dua dimensi dan tiga dimensi. Saya akan menempatkan permainan timnas U-23 dan senior di level dua dimensi, yang memiliki ciri seperti berikut:
Tampilan Hanya Dapat Dilihat Dari Satu Sudut atau Flat
Mengandalkan kecepatan Boaz Salossa dilini depan, membuat permainan Indonesia senior terkesan terburu-buru. Bola lambung yang kerap dilakukan pada lini pertahanan (belakang) ke lini depan, dan “hanya” berharap miss-act akan dilakukan pertahanan lawan, sering dilakukan timnas senior. Serangan inilah yang memudahkan para lawan membaca serangan timnas senior yang terkesan datar (flat).
Hanya Dapat Melihat Satu Layer
Efek domino yang memainkan bola-bola langsung (direct ball) kedaerah pertahanan atau hanya mengandalkan kecepetan Andik Vermansyah atau Andik sentris ini, seakan menunjukan keterbatasan taktik serangan timnas U-23 maupun timnas senior kita. Tidak terlihat transisi yang baik dari lini per lini dan juga perpindahan bola dari sisi kiri ke kanan atau pun sebaliknya menambah pandangan timnas pada level ini memiliki keterbatasan pandangan atau buta permainan.
Keterbatasan Permainan Warna
Passing dan shooting adalah bagian dasar pada poin teknik yang hanya digunakan baik pelatih U-23, Rahmad Darmawan, dan juga pelatih senior, Jacksen F Thiago. Teknik tidak diimbangi dengan poin-poin lain, membuat warna pada permainan Indonesia hanya berwarna standar. Tidak pernah memiliki efek bayangan, emboss, dan lain sebagainya.
*****
Sedangkan timnas Indonesia U-19 bermain pada level tiga dimensi, yang memiliki sifat – sifat berikut:
Tampilan Dapat Dilihat Dari Berbagai Arah, Kiri-Kanan-Depan-Belakang-Atas-Bawah
Menampilkan permaianan dari berbagai sisi, membuat Evan Dimas, dkk. berhasil tidak kehilangan kreativitas saat menghadapi lawan-lawannya. Menghadapi dua tim dengan tipe yang sangat berbeda, melawan Filipina yang ultra defensive dan serangan bervariasi dari Korea Selatan, tidak membuat Indonesia stuck di satu pola. Timnas U-19 kerap memiliki berbagai pilihan alternative ketika menghadapi tipe permainan yang berbeda.
Perubahan permainan dari sisi kiri ke sisi kanan atau sebaliknya, juga transisi saat bertahan dan menyerang dari setiap lini, membuat permainan garuda muda ini enak dilihat. Kemampuan individu yang sama baiknya, membuat pasukan Indra Sjafri ini tidak hanya mengandalkan satu atau dua pemain. Hubungan vertikal atau atas (baca:Tuhan) yang tinggi membuat mereka selalu merendah dan tetap menginjakan kaki pada bumi (bawah). #sujudforsjafri
Dapat Melihat Bentuk Secara Menyeluruh
Mungkin bagi anda penggemar komik fantasista pernah mendengar hal yang mengatakan secara garis besar, bermain sepak bola sama halnya dengan bermain catur. Pandangan ketika memainkan permainan catur adalah memandang permainan dari atas yang membuat pandangan kita lebih luas dan leluasa.
Zulfiandi dan Evan Dimas lah yang memiliki banyak peran dari poin tersebut. Kedua pemain ini memiliki visi yang tajam dan pandangan yang luas dan kerap melakukan umpan-umpan panjang dan umpan terobosan. Dan sialnya, umpan mereka yang selalu akurat membuat Ahmad Bustomi ataupun Egi Melgiansyah terlihat seperti pemain medioker.
Pewarnaan Lebih Rumit dan Kompleks
Untuk menjadi seorang pemenang dibutuhkan banyak pengorbanan waktu, tenaga dan berbagai hal lainnya. Indra Sjafri yang memiliki standar yang tinggi untuk para pemainnya menerapkan 4 aspek penilaian yang berbeda-beda. Tak hanya aspek teknik yang mencakup shooting atau passing, coach Indra menambahkan aspek lainnya yaitu mental, fisik dan taktikal.
Ini lah yang membuat warna dalam timnas Indonesia U-19 ini lebih tajam. Tak kehilangan nafas setelah menit 60 adalah sesuatu yang jarang kita lihat dalam permainan timnas kita. Menjelajah setiap sudut lapangan yang dilakuakan secara sadar adalah buah kecermatan taktik pelatih dan pemahaman yang baik oleh anak asuhnya. Dan hal terpenting lainnya adalah mental juara dan sikap militant seperti yang dikatakan pelatih Indra, “Mereka tak mau diinjak-injak di negaranya sendiri”.

You Might Also Like

0 comments