Dari Cardiff Hingga Bojonegoro
April 22, 2013
Cardiff City yang minggu
lalu baru saja promosi ke Liga Inggris untuk musim depan, adalah tim kedua asal
Wales, setelah Swansea City, yang bermain di liga tertinggi Inggris. Unik
memang klub yang berasal dari Wales bermain di tanah Inggris, karena sekilas
tim – tim tersebut tampak seperti merendahkan kompetensi liga lokal mereka. Tetapi,
sudah banyak klub-klub di dunia yang tidak bermain di negara asalnya. Ada
beberapa alasan mengapa klub-klub tersebut memilih hijrah ke liga lain,
diantaranya:
Faktor Ketiadaan Liga Nasional.
Faktor Ketiadaan Liga Nasional.
Ketiadaan liga di suatu
negara bisa memicu suatu klub sepak bola profesional untuk mencari induk liga
di negara lain. Sebut saja AS Monaco FC, salah satu klub yang identik dengan
Liga Prancis. Namun sesungguhnya AS Monaco bukanlah “penduduk asli” liga
tersebut. AS Monaco berasal dari negara Monaco, sebuah negara di Benua Eropa
yang merupakan negara terkecil kedua di dunia setelah Vatikan. Sudah barang
tentu negara yang hanya memiliki populasi kurang lebih 35.000 jiwa ini, tidak
memiliki liga profesional. Inilah yang menyebabkan masuknya AS Monaco ke Liga
Prancis.
Faktor Geografis.
Faktor Geografis.
Kedekatan markas suatu
klub dengan negara tetangga juga bisa menjadi alasan kepindahan suatu klub ke
liga negara tersebut. Berlawanan dengan Cardiff dan Swansea City, Berwick
Rangers adalah salah satu klub asal Inggris yang bermain di Liga Wales. Jarak
Shielfield Park, kandang Berwick Rangers, yang lebih dekat dengan Wales,
menjadi salah satu alasan klub tersebut pindah haluan.
Faktor Finansial.
Faktor Finansial.
Cardiff City yang baru
saja mendapatkan promosi ke EPL langsung mendapatkan kontrak hak siar senilai
sedikitnya $ 90M untuk musim 2013-2014. Terbayang sudah kan maksud dari faktor
finansial ini seperti apa. Tak salah Vincent Tan, pemilik Cardiff City asal
Malaysia ini, menginvestasikan uangnya demi hal yang jauh lebih menguntungkan.
Menilik tiga faktor yang sudah disebutkan di atas, ada kemungkinan klub – klub Indonesia untuk bermain di liga negara lain, di Malaysia Super League, misalnya. Persiraja Banda Aceh memiliki kedekatan geografis dengan Malaysia, sehingga sangat memungkinkan bagi Persiraja Banda Aceh untuk pindah liga, demi menghemat pengeluaran klub dan pengelolaan stamina pemain. Jumlah pengeluaran klub dan stamina pemain yang terkuras saat harus bermain tandang ke Pulau Jawa tentunya lebih besar, dibanding bertandang ke markas klub-klub Malaysia.
Disamping itu, nilai jual liga Indonesia yang masih kalah dengan beberapa liga lokal di level ASEAN, bisa menjadi pertimbangan penting bagi klub-klub Indonesia untuk memperbaiki finansial, baik secara individu maupun kolektif. Rendahnya profit yang didapat oleh klub-klub Indonesia mungkin bisa membenarkan pilihan Bakrie Group dan Erick Thohir yang lebih memilih untuk membeli Vise FC dan DC United, ketimbang tim-tim lokal Indonesia.
Selain tiga faktor yang sering terjadi itu, ada faktor keempat yang selama ini tidak pernah diakui oleh tim manapun, tapi saya rasa akan menjadi sebuah rahasia umum, andaikata ada tim Indonesia yang memilih untuk berlaga di liga lain, yaitu faktor kebrobrokan liga di negara sendiri.
Suatu kebanggaan bagi Indonesia masih dipercaya oleh FIFA dan AFC untuk terus dapat berpartisipasi di ajang Internasional, setelah sikap paradoks dari berbagai elemen kita yang terus terjadi. Persibo Bojonegoro pergi untuk mewakili Indonesia bermain di ajang Piala AFC. Namun sayang, Laskar Angling Dharma, julukan Persibo Bojonegoro, harus menelan kekalahan 8-0 dari tim tuan rumah, Sunray Cave JC Sun Hei. Yang memalukan dari kekalahan tersebut, bukanlah dari hasil yang didapat Persibo. Melainkan sikap eksentrik Persibo Bojonegoro yang hanya membawa 12 pemain untuk terbang ke Hong Kong. Gusnul Yakin, pelatih Persibo, menjelaskan faktor finansial yang membuat Persibo tak bisa membawa banyak pemain. Hingga pada akhirnya Persibo dituduh telah menerima suap.
Lalu, siapakah yang patut disalahkan dalam kasus ini? Kualitas atau kuantitas minim pemain Persibo kah? PSSI yang tak memeriksa kelayakan Persibo untuk mengikuti turnamen Internasional kah? Atau memang Persibo benar menerima suap? Banyak hipotesis yang mungkin ada di benak anda untuk kasus ini.
Hemat saya, kasus tersebut adalah efek domino dari kasus-kasus yang terjadi di tanah air. Kepengurusan yang amburadul seperti mencerminkan vacuum of power sedang terjadi di liga kita. Mungkin Persibo sudah muak dengan kurangnya atensi dari kalangan elit dan menimbulkan aksi reaktif yang pada akhirnya mengundang kontroversi. Lahirnya ide-ide solutif seakan tak berguna hingga “revolusi” pun tak mengubah jalan hidup persepakbolaan kita.
Jadi jika memang kasus tersebut adalah hasil dari kebrobrokan liga dalam negeri, mungkin ini saatnya bagi Persibo Bojonegoro, dan klub-klub Indonesia lainnya, untuk mulai mempertimbangkan gagasan pindah liga.
Menilik tiga faktor yang sudah disebutkan di atas, ada kemungkinan klub – klub Indonesia untuk bermain di liga negara lain, di Malaysia Super League, misalnya. Persiraja Banda Aceh memiliki kedekatan geografis dengan Malaysia, sehingga sangat memungkinkan bagi Persiraja Banda Aceh untuk pindah liga, demi menghemat pengeluaran klub dan pengelolaan stamina pemain. Jumlah pengeluaran klub dan stamina pemain yang terkuras saat harus bermain tandang ke Pulau Jawa tentunya lebih besar, dibanding bertandang ke markas klub-klub Malaysia.
Disamping itu, nilai jual liga Indonesia yang masih kalah dengan beberapa liga lokal di level ASEAN, bisa menjadi pertimbangan penting bagi klub-klub Indonesia untuk memperbaiki finansial, baik secara individu maupun kolektif. Rendahnya profit yang didapat oleh klub-klub Indonesia mungkin bisa membenarkan pilihan Bakrie Group dan Erick Thohir yang lebih memilih untuk membeli Vise FC dan DC United, ketimbang tim-tim lokal Indonesia.
Selain tiga faktor yang sering terjadi itu, ada faktor keempat yang selama ini tidak pernah diakui oleh tim manapun, tapi saya rasa akan menjadi sebuah rahasia umum, andaikata ada tim Indonesia yang memilih untuk berlaga di liga lain, yaitu faktor kebrobrokan liga di negara sendiri.
Suatu kebanggaan bagi Indonesia masih dipercaya oleh FIFA dan AFC untuk terus dapat berpartisipasi di ajang Internasional, setelah sikap paradoks dari berbagai elemen kita yang terus terjadi. Persibo Bojonegoro pergi untuk mewakili Indonesia bermain di ajang Piala AFC. Namun sayang, Laskar Angling Dharma, julukan Persibo Bojonegoro, harus menelan kekalahan 8-0 dari tim tuan rumah, Sunray Cave JC Sun Hei. Yang memalukan dari kekalahan tersebut, bukanlah dari hasil yang didapat Persibo. Melainkan sikap eksentrik Persibo Bojonegoro yang hanya membawa 12 pemain untuk terbang ke Hong Kong. Gusnul Yakin, pelatih Persibo, menjelaskan faktor finansial yang membuat Persibo tak bisa membawa banyak pemain. Hingga pada akhirnya Persibo dituduh telah menerima suap.
Lalu, siapakah yang patut disalahkan dalam kasus ini? Kualitas atau kuantitas minim pemain Persibo kah? PSSI yang tak memeriksa kelayakan Persibo untuk mengikuti turnamen Internasional kah? Atau memang Persibo benar menerima suap? Banyak hipotesis yang mungkin ada di benak anda untuk kasus ini.
Hemat saya, kasus tersebut adalah efek domino dari kasus-kasus yang terjadi di tanah air. Kepengurusan yang amburadul seperti mencerminkan vacuum of power sedang terjadi di liga kita. Mungkin Persibo sudah muak dengan kurangnya atensi dari kalangan elit dan menimbulkan aksi reaktif yang pada akhirnya mengundang kontroversi. Lahirnya ide-ide solutif seakan tak berguna hingga “revolusi” pun tak mengubah jalan hidup persepakbolaan kita.
Jadi jika memang kasus tersebut adalah hasil dari kebrobrokan liga dalam negeri, mungkin ini saatnya bagi Persibo Bojonegoro, dan klub-klub Indonesia lainnya, untuk mulai mempertimbangkan gagasan pindah liga.
0 comments