Indonesia ala Rachmad Darmawan

March 25, 2013


Kembalinya putra-putra terbaik ke tim nasional Indonesia, memberikan secercah harapan sebelum di mulainya pertandingan Indonesia melawan Arab Saudi. Kerinduan supporter kita untuk melihat pemain dan permainan terbaik terlihat dari membludaknya penonton di Stadion Gelora Bung Karno. Namun sayang, pil pahit harus ditelan oleh tim merah-putih yang menyelesaikan pertandingan dengan skor 1-2.

Begitu banyak alasan yang terlontar dari kubu PSSI dan pemain atas hasil yang kita dapat di pertandingan tersebut. Sudah barang tentu, faktor persiapan yang mepet menjadi alasan utama kekalahan tim Garuda. Saya dengan tegas menolak untuk menerima alasan tersebut. Bukan hanya Indonesia, negara-negara seperti Brazil, Inggris, Belanda dan Italia pun memiliki waktu persiapan yang pendek untuk melakoni laga uji coba atau pertandingan kualifikasi. Hanya dengan waktu kurang dari seminggu, mereka diwajibkan untuk meramu tim terbaiknya.

Jelas faktor persiapan yang pendek, berakibat pada kematangan dan kekompakan tim. Jangan kan Indonesia, tim sekelas Brazil pun masih jauh dari kata kompak. Bongkar pasang yang sering terjadi di kubu tim – tim nasional, bukan hanya Indonesia, adalah salah satu sebab kurang padunya permainan para pemain, yang biasanya memukau, di tim nasional. Bandingkan saja peran Messi ketika ia membela Barcelona dan Argentina! Mungkin bisa menjadi gambaran bagaimana kekompakan di klub dan tim nasional begitu jomplang.

Bagaimana dengan Indonesia?
Selain kekompakan dan bongkar pasang pemain, pergantian pelatih juga benar-benar  mempengaruhi permainan Indonesia. Digantinya Nil Maizar dengan Rachmad Darmawan mempengaruhi gaya bermain Indonesia. Memang tak ada yang meragukan kualitas pelatih sekaliber Rachmad Darmawan dan asisten pelatih Jecksen F Tiago. Pelatih berusia 46 tahun ini menorehkan prestasi dengan membawa Persipura dan Sriwijaya FC menjadi juara Liga Indonesia. Di level timnas pun, RD pernah mengantarkan Indonesia merebut medali perak di SEA Games tahun 2011 lalu. Namun dari kaca mata saya, pilihan strategi Nil Maizar untuk Indonesia masih lebih baik dari Rachmad Darmawan dan bahkan Alfred Riedl.

Pada pertandingan kontra Irak beberapa bulan lalu, saat Indonesia masih ditangani oleh Nil Maizar, Indonesia turun dengan formasi yang sama, 4-2-3-1, namun, permainan Indonesia terlihat lebih rapi dan terorganisir. Transisi dari lini ke lini berhasil diperlihatkan oleh Andik, dkk. Double pivot, M. Taufiq dan Stevie Bonsapia berhasil mendominasi lini tengah. Demikian pula V. Mofu yang rajin menjemput pola dari lini ke dua dan melakukan press ketika Irak memegang bola di lini tersebut.

Saat melawan Arab Saudi pun Rachmad Darmawan memakai skema yang sama, yaitu 4-2-3-1. Di manafour-back diisi Hamka Hamzah, Igbonefo, Zulkifly Syukur dan Supardi. Double pivot dimainkan oleh Ponaryo dan Wanggai. Sedangkan M. Ridwan dan Kabes mengisi posisi sayap di tambah Boaz Salossa di belakang Sergio Van Dijk, yang mengisi posisi depan. Namun permainan 4-2-3-1 ala Rachmad Darmawan jauh dari harapan, khususnya di babak pertama.

Disisi pertahanan Indonesia terlihat kokoh di awal pertandingan. Hamka yang bermain lugas dan ketenangan Igbonefo di jantung pertahanan terlihat menjanjikan, awalnya. Namun, dua gol yang di derita Indonesia tercipta dari bola udara, dimana Hamka dan Igbonefo seharusnya mampu memenangkan dueludara dengan Yahya Sulaiman dan Al Salem. Sisi pertahanan yang dijalankan oleh Zulkifly, di kanan, dan Supardi, di kiri, tidak mampu menutup serangan sayap Arab Saudi. Titik terlemah pada pertandingan tersebut adalah pada sisi kiri pertahanan Indonesia yang diisi oleh Supardi. Ia gagal menutup pergerakan pemain Arab Saudi, sehingga dihasilkan dua crossing dari posisi tersebut dan berakhir pada dua gol untuk Arab Saudi.

Selain sisi kiri pertahanan Indonesia, double pivot yang diemban oleh Ponaryo dan Wanggai menjadi titik lemah lain pada timnas kita. Tak adanya press di lini tersebut, minimnya umpan terobosan, dan kurangnya mobilitas kedua pemain ini, menjadikan mereka bulan-bulanan Yahya Sulaiman, dkk. di lini tengah. RD yang mengharapkan faktor pengalaman Ponaryo bisa memotivasi pemain lain, ternyata malah gagal berperan. Mungkin sebaiknya, Ponaryo cukup dijadikan panutan mekanisme surat menyurat yang biasa dimainkannya di APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia) saja. Sedangkan Wanggai, yang ditugaskan RD sebagai “perusak” permainan Arab Saudi dengan mobilitas tinggi, malah menjadi anak labil yang sedang mencari jati diri dan kehilangan arah di hadapan 75.000 penonton di GBK. Entah mengapa RD masih mempertahankan Wanggai hingga peluit panjang dibunyikan.

Dimainkannya M. Ridwan di sayap kanan dimaksudkan untuk mengurangi serangan Arab Saudi dari sisi sayap. M. Ridwan berhasil dengan cukup baik dalam menutup gerakan lawan, namun M.Ridwan terkadang lupa untuk melakukan track back dan membantu Zulkifly. Sementara Kabes di sayap kiri, tak memberi banyak back up untuk Supardi. Penetrasi dan akselerasi yang biasa menjadi andalan tim Indonesia, jarang terlihat pada pertandingan tempo hari.

Boaz Salossa yang berada di belakang Sergio Van Dijk ternyata cukup mumpuni untuk menyulitkan pertahanan Arab Saudi. Dengan mengandalkan kecepatan dan tekniknya, Boaz berhasil melesakkan gol pertama Indonesia di ajang pra-Piala Asia tersebut. Saat itu, Boaz membuat pertahanan Arab Saudi terkejut, sehingga tampak grogi, saat ia menerima umpan jauh Kurnia Meiga. Kemudian, dengan teknik yang di milikinya, ia dengan cerdik melakukan placing ke sisi kanan gawang Waleed Abdullah.

Ujung tombak Indonesia yaitu Sergio van Dijk bermain cukup efektif. Debutnya di timnas Indonesia menurut pandangan saya tidak mengecewakan, bahkan jauh dari ekspektasi saya. Sudah lama kita merindukan pemain depan yang menjadi momok menakutkan untuk tim lawan. Dan sosok tersebut, ada pada diri van Dijk. Beberapa kali ia melakukan long shot yang terarah, ia juga berhasil memenangkan duel-deul udara, dan tak lupa, free kick yang akurat dari jarak 35 meter lebih, membuktikan kualitas seorang Sergio van Dijk. Namun kurangnya supply bola dari lini kedua dan umpan-umpan silang, meminimalisir peluang yang seharusnya diperoleh van Dijk.

Tak adil jika saya hanya mengoreksi gaya permainan tim nasional kita, kredit patut saya berikan untuk permainan Arab Saudi. Pertahanan yang kokoh dan kedisiplinan Hawsawi, dkk. menyulitkan Indonesia melakukan penetrasi dan eksplorasi serangan dari sisi sayap. Press ketat Arab Saudi membuat Indonesia tidak bisa mengembangkan permainan. Kualitas individu setiap pemain Arab Saudi juga perlu dicermati. Beberapa kali Arab Saudi memperagakan tiki-taka di lini tengah hingga ke pertahanan Indonesia. Terlihat Rachmad Darmawan mengintruksikan untuk menutup gerakan Al Jassim. Pemain bernomor punggung 8 ini leluasa mengontrol dan mendominasi lini tengah.  Apesnya lagi, tidak liarnya Ponaryo dan Wanggai gagal memukul mundur serangan Arab Saudi.

Uniknya, ketika dalam posisi tertinggal permainan Indonesia semakin membaik. Masuknya Greg Nwokolo menggantikan Ian Kabes di menit ke-63, adalah sebuah keputusan tepat. Boaz menjadi sayap kiri dan Greg di duetkan dengan van Dijk di lini depan. Kualitas Greg yang mampu melakukan holding ball dengan baik, membuat terciptanya beberapa kombinasi dengan van Dijk.

Masuknya Irfan mengantikan M. Ridwan tak membuat permainan Indonesia membaik. Karakter yang lebih menyerang pada diri Irfan, tak membantunya menembus pertahan the green falcons. Tak seperti Irfan, masuknya Bustomi mengantikan Ponaryo di menit-menit akhir pertandingan, membuat permainan Indonesia lebih agresif dan hidup. Bermain dalam kurun waktu kurang dari 5 menit, Bustomi berhasil melakukan long pass terukur dan memperlihatkan mobilitas yang tinggi. Tapi apa mau di kata, nasi sudah menjadi bubur. RD time bukanlah bagian dari jati diri Indonesia.

Dengan hasil ini Indonesia masih berada di posisi terbawah klasemen grup C di bawah Arab Saudi, Cina dan Irak. Menyisakan 4 pertandingan, Indonesia masih memiliki peluang lolos ke Piala Asia 2015  di Australia nantinya. Masih ada waktu sekitar 7 bulan untuk melakukan perubahan pemain, memadukan kekompakan dengan laga uji coba Internasional sebelum bertemu Cina, atau malah, tidakkah lebih baik jika kita kembali pada Indonesia ala Nil Maizar?!

You Might Also Like

0 comments