Kekalahan Borussia
Dortmund atas Augsburg dini hari kemarin (5/2/2015) di stadion kebanggaan
mereka, Signal Iduna Park, tak hanya menodai harkat dan martabat mereka di
depan publiknya sendiri, namun juga mengokohkan tempat Der BVB di dasar
klasemen Bundesliga. Walau dalam laga tandang pekan kemarin Dortmund sempat
berhasil menahan imbang tim peringkat dua, Bayer Leverkusen, namun mereka gagal
kembali menunjukkan kualitasnya sebagai tim papan atas Jerman.
Pada awal musim, Dortmund
memang sempat berkutat dengan masalah cederanya beberapa pemain penting,
semisal Nuri Sahin, Marco Reus, dan Mats Hummels, tetapi ketika memasuki pekan
ke-19, alasan klasik ini pun perlahan tak bisa diterima oleh akal sehat.
Menjuarai Bundesliga dua tahun berturut-turut pada tahun 2011 dan 2012 dan
menjadi runner-up Bundesliga di 2013 dan 2014, juga predikat
finalis Liga Champions di tahun 2013 membuat Dortmund sesungguhnya tidak layak
menjadi juru kunci klasemen. Tapi kini Dortmund sedang sakit parah, baik jiwa
dan raga mereka diserang berbagai penyakit, di antaranya:
Infertilitas
Dalam reproduksi,
fertilisasi atau pembuahan bisa terjadi ketika spermatozoa (sel
sperma) bertemu denganovum (sel telur), untuk itu dibutuhkan
kualitas sperma yang mumpuni agar sel tersebut bisa mencapai sel telur.
Sedangkan infertilitas adalah anti-tesis dari pembuahan atau kesuburan. Infertilitas
atau kemandulan adalah isu yang sangat penting, bukan hanya untuk pasangan
suami istri, namun juga untuk Borussia Dortmund.
Selepas ditinggal Robert
Lewandowski, isi pundi-pundi gol Die Borussen pun menurun tajam. Pada musim
lalu, striker asal Polandia ini berhasil mencetak 20 gol untuk
Dortmund. Jurgen Klopp berharap Ciro Immobile, yang diboyong dari Torino, bisa
menjadi penerus Lewandowski, mengingat rekornya di Torino yang berhasil
mencetak 22 gol di musim lalu.
Di Dortmund, Immobile mengemban
tugas untuk membuahi lawan-lawannya, tapi ia gagal. Kualitas sperma yang ia
miliki tak seampuh dulu ketika ia bersenggama bersama Torino. Dari 15 laga yang
sudah dijalani Immobile bersama Dortmund, ia baru mencetak tiga gol. Dibutuhkan
waktu memang untuk meningkatkan kualitas Immobile agar kembali pada performa
terbaiknya.
Selain Immobile, striker asal
Gabon, Pierre-Emerick Aubameyang kini juga sedang mengalami degradasi kualitas
sebagai pencetak gol ulung. Walau menjadi top scorer di
Bundesliga untuk Dortmund dengan torehan lima gol dari 18 laga, Aubameyang
masih dinilai gagal membuat produksi gol Dortmund meningkat, apalagi jika
dibandingkan dengan penampilannya musim lalu yang membuahkan 13 gol dan empat assist.
Impotensi
Berkaitan dengan
reproduksi, impotensi juga menjadi salah satu penyebab terjadinya infertilitas.
Dalam hubungan seksual, disfungsi ereksi atau impoten adalah ketidakmampuan
pria menjaga ereksi ketika berhubungan seksual. Dengan begitu, fertilisasi atau
pembuahan erat hubungannya dengan fungsi ereksi.
Seakan tak cukup dengan
kemandulan lini depan, Borussia Dortmund juga kewalahan dengan lini tengahnya
yang impoten. Meski memiliki banyak gelandang kreatif macam Marco Reus, Shinji
Kagawa, Nuri Sahin, dan Henrikh Mkhitaryan, namun kemampuan mereka untuk tegak
menghadapi lawan layak dipertanyakan. Sejatinya, ereksi menghasilkan kreasi dan
inilah yang ditunggu dari pemain-pemain kreatif macam mereka. Seharusnya mereka
bisa berkreasi mengantarkan gol ke lini depan mereka.
Di musim 2013-2014, Reus
dan Mkhitaryan menjadi salah dua pemain yang berhasil membuat dua digitassist.
Musim lalu Reus berhasil menorehkan 13 assist, sedangkan Mkhitaryan
menberikan 10 assistuntuk BVB. Tak hanya piawai dalam memberi
umpan, kedua pemain ini juga aktif dalam urusan mencetak gol. Reus menciptakan
16 gol dan Mkhitaryan dengan sembilan golnya. Cukup produktif untuk hitungan
pemain yang mengisi lini kedua.
Berkurangnya gairah kedua
pemain tersebut di musim ini makin memperparah impotensi lini tengah BVB. Reus
baru tampil di sembilan laga Bundesliga dengan torehan tiga gol dan dua assist. Mengingat
ia sempat mengalami cedera panjang di awal musim, torehannya tersebut masih
bisa kita maklumi. Namun tidak demikian halnya dengan Mkhitaryan, dari 14 laga,
pemain asal Armenia ini sama sekali belum mencetak gol ataupun assist di
Bundesliga!
Reuni Dortmund dengan
Kagawa diharapkan bisa mengembalikan memori indah mereka di 2011. Ketika itu,
Kagawa menjadi pusat serangan BVB dengan mencetak 13 gol dan enam assist. Namun
Kagawa masih belum bisa menyembuhkan impotensi yang dia dapatkan semenjak
bersama Manchester United. Ia baru mencetak sebiji gol dan belum sama sekali
memberikan assist untuk rekannya. Hal ini menjadikan impotensi
lini tengah BVB sudah memasuki stadium empat.
Gangguan Psikis
Menarik benang merah dari
permasalahan reproduksi, gangguan mental juga bisa menjadi penyebab menurunnya
gairah dalam persenggamaan. Tak hanya faktor fisik dan hormon, gangguan psikis
atau mental menjadi alasan lain menurunnya tingkat produktivitas seseorang.
Kekalahan lima kali
secara beruntun yang diderita BVB dari pekan kelima hingga pekan ke-10 menjadi
mimpi buruk untuk anak asuhan Jurgen Klopp ini. Tak hanya sekedar kehilangan
poin demi poin, kehilangan kepercayaan diri membuat BVB terjangkit amnesia yang
lupa akan identitas dirinya sebagai tim yang tak hanya baik di Bundesliga,
namun juga di level Eropa, bahkan dunia.
Dengan penyakit
komplikasi yang diderita BVB kali ini, dukungan suporter yang tiada hentinya
diharapkan menjadi obat yang mujarab untuk mengembalikan BVB ke level
sebenarnya. Akan tetapi suporter juga manusia, yang memiliki tingkat kesabaran.
Dan dengan kejadian tadi malam, ketika kiper BVB, Roman Weidenfeller bersama
Hummels menenangkan amarah pendukungnya, tampaknya BVB harus mulai mencari obat
yang baru.
Foto cover: espnfc.com
Statistik: whoscored.com
Statistik: whoscored.com
Sudah lebih dari setengah abad negara kita merdeka.
Begitu banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh para pahlawan kita dalam
bentuk tenaga, pikiran, waktu, hingga yang tersulit, pengorbanan hawa nafsu,
egoisme dalam diri; semua untuk mencapai satu tujuan, kemerdekaan.
Dwitunggal, Soekarna-Hatta, boleh dikatakan sebagai
garda terdepan perjuangan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan, namun kita tidak
boleh melupakan bahwa sejatinya roda perjuangan menuju kemerdekaan itu
digerakkan oleh banyak elemen baik dari tokoh pemuda, jurnalis, satrawan, dan
lain sebagainya. Soetan Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan
A.H. Nasution adalah segelintir tokoh yang turut memberikan andil pada zaman
kemerdekaan.
Nama Soetan Sjahrir seharusnya tak asing lagi di
telinga kita. Orang yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri termuda di
dunia ini adalah orang yang mengabarkan kekalahan Jepang kepada Soekarno dan
Hatta. Berdasarkan berita tersebut, golongan muda, termasuk Sjahrir, mendesak
Soekarno dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan secepatnya. Namun
sayangnya permintaan Sjahrir dan golongan muda tersebut tidak digubris oleh
Soekarno dan Hatta, karena memang mereka sedang menyiapkan kemerdekaan
Indonesia melalui badan yang disediakan oleh Jepang.
Golongan muda kemudian memilih untuk menculik
Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok agar tuntutan mereka bisa didengar. Di
sinilah Soetan Sjahrir menunjukkan sebuah sikap ksatria dengan mengesampingkan
egonya dan mengutamakan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir meminta dengan keras
kepada golongan muda untuk mengembalikan Soekarno dan Hatta ke Jakarta
secepatnya, karena menurutnya Soekarno dan Hatta adalah sosok yang bisa dan
layak untuk mewujudkan cita-cita dan impian seluruh rakyat Indonesia untuk
meraih kemerdekaan.
***
Sudah seperempat abad Liverpool tidak merasakan
juara di liganya. Begitu banyak perjuangan yang dilakukan para pendukung demi
mewujudkan tujuan mereka, gelar juara liga Inggris, baik melalui tulisan,
kicauan, seminar motivasi, sampai doa bersama.
Sebelum era nirgelar liga ini, dwitunggal Bill
Shankly dan Bob Paisley mengantarkan Liverpool ke gerbang kejayaan di masa
lalu. Enam gelar Liga Inggris dan tiga Piala Champions berhasil mereka raih di
masa keemasan itu. Nama-nama seperti Kenny Dalglish, Graeme Souness, dan Gérard
Houllier adalah sosok pemain dan juga pelatih yang sukses melahirkan banyak
pemain bintang dan gelar di zaman dulu kala.
Berbicara tentang Liverpool tentu tak asing juga
dengan nama Steven Gerrard. Nama yang sempat diorbitkan oleh pelatih asal
Perancis, Gérard Houllier, itu adalah kapten muda Liverpool yang membawa mereka
meraih gelar kelima Liga Champions di tahun 2005. Ketika Gerrard tak dimainkan
sama sekali di laga melawan Swansea City awal pekan kemarin, ia seolah didesak
oleh golongan muda seperti Jordan Henderson, Philippe Coutinho, Emre Can, dan
Lazar Markovic untuk meninggalkan Liverpool secepatnya. Namun itu semua tak
digubris oleh Gerrard sendiri. Dari 19 laga yang sudah dijalani Liverpool, 18
kali Gerrard bermain dan 16 kali diantaranya bermain selama 90 menit penuh, di
umur 34 tahun!
Ketidakhadiran Gerrard di laga melawan Swansea City
membuat permainan Liverpool lebih hidup. Selain apiknya permainan Emre Can
sebagai bek pada skema tiga bek Liverpool, kembalinya Henderson di posisi
tengah juga membuat lini tengah Liverpool stabil. Berbeda ketika mereka ditahan
imbang Arsenal 2-2 di Anfield, kehadiran Gerrard di posisi tengah memaksa
Henderson harus menempati posisi sayap Liverpool. Miris.
Henderson merupakan gelandang tengah yang menurut
saya tak bisa diganggu gugat keberadaanya sekarang. Yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah apakah Lucas Leiva atau Gerrard kah yang akan menjadi tandem
Hendo di lini tengah?
Secara statistik, permainan mungkin Gerrard lebih
unggul dibandingkan Lucas. Squawka mencatat Gerrard membuat total 36
peluang dan rata-rata melakukan empat aksi bertahan yang 70.8% nya berasal dari clearances, 20% interceptions, dan
9,2% blocks. Sedangkan Lucas hanya membuat total 5 peluang,
meski memiliki rataan aksi bertahan yang lebih tinggi dari Gerrard, enam aksi
bertahan yang berasal dari57.7% clearances, 36.5% interceptions, dan
5,8% blocks. Namun di musim ini, dari sembilan laga di mana
Lucas dimainkan, The Reds berhasil menang sebanyak enam kali, imbang dua kali
dan hanya menelan satu kali kekalahan!
***
Sejalan dengan Sjahrir, Gerrard sepertinya kini
mulai menurunkan egonya untuk kemaslahatan bersama. Memang sudah waktunya
Gerrard meneladani perjuangan Bung Sjahrir, yang meredam egonya selama itu yang
terbaik untuk bangsa Indonesia – dan untuk Gerrard, yang terbaik untuk
Liverpool.
Gambar: dailymail.co.uk
Di
antara banyak kejadian dalam dunia sepak bola yang erat sekali hubungannya
dengan kondisi emosional pemain, kasus rasisme mungkin berada di urutan
teratas. Tak jarang pemain yang terkena ejekan rasial sampai menolak untuk
bermain, misalnya mantan pemain AC Milan, Kevin Prince Boateng, yang menolak
melanjutkan pertandingan setelah mendapatkan ejekan rasial dari pendukung Pro
Patria dalam sebuah laga uji coba.
“Let’s Kick Racism
out of Football”, “No Racism”, dan berbagai tagline bernada serupa
kerap digaungkan di dunia sepak bola masa kini. FIFA memang menganggap isu
rasisme ini sebagai aksi paling hina dan keji setelah terorisme. Berdasarkan
hal tersebut, kelakuan pemain yang meninggalkan lapangan karena ejekan rasial
terhadap dirinya dapat dimaklumi oleh berbagai kalangan.
Namun apa jadinya jika
seorang pemain menolak bermain atas dasar ejekan pendukung tetapi tanpa adanya
intrik rasisme?
Baru-baru ini, salah satu
kiper Turki, Volkan Demirel, meninggalkan Stadion Turk Telekom Arena sebelum dimulainya
pertandingan kualifikasi UEFA EURO 2016 antara Turki dan Kazakhstan. Ketika
kedua tim sedang melakukan pemanasan, dari tribun terdengar ejekan kepada
Volkan yang datang dari pendukung Turki sendiri. Volkan pun memberikan gesture mendiamkan,
namun pendukung itu tak mengindahkan peringatan Volkan tersebut. Klimaksnya,
Volkan pergi meninggalkan lapangan dan juga stadion setelah kejadian itu.
Kejadian ini ramai
diberitakan dan dibahas di berbagai media Turki. Politisasi pun mulai dilakukan
seiring jalan. Ketidakprofesionalan Türkiye Futbol Federasyonu (TFF) sebagai
lembaga tertinggi sepak bola Turki pun kembali disoroti, terlebih setelah
banyaknya kejadian anarkis para pendukung klub Turki yang berlaga di kompetisi
Eropa. Sindiran juga datang dari salah satu pelatih ternama Turki yang pernah
membawa Ay Yildizlar menjadi juara tiga di Piala Dunia 2002, Senol Gunes. Ia
mengritik kediktatoran Fatih Terim sebagai pelatih timnas sekarang.
Terim dikritik karena
tidak memanggil duo bintang Bayer Leverkusen, Hakan
Çalhanoğlu dan Ömer Toprak, pada laga melawan Brazil dan Kazakhstan. Terim tak
memanggil Hakan dan Ömer dikarenakan kedua pemain terlibat keributan dengan
Gökhan Töre dan temannya yang berujung pada penodongan senjata kepada dua
pemain Leverkusen tersebut. Tapi uniknya, Gökhan Töre tetap mendapatkan
panggilan dari sang pelatih untuk membela timnas. Setelah aksi walk-out Volkan
itu pun, Terim seakan membela sang pemain dengan mengatakan bahwa Volkan
mengalami cedera sebelum pertandingan dan memang tak masuk dalam rencana line-up timnas
Turki menghadapi Kazakhstan.
Di samping segala bentuk
politisasi media, apa faktor yang menyebabkan Volkan melakukan tindakan yang
tidak profesional tersebut?
Sejatinya manusia
memiliki apa yang biasa kita sebut sebagai human nature atau
sifat dasar manusia. Sebuah sifat yang sudah terpatri dalam tubuh manusia sejak
lahir. Seorang filsuf asal Italia, Niccolò Machiavelli, mengatakan manusia
merupakan pribadi yang tidak tahu rasa terima kasih, tidak dapat diandalkan,
munafik, berbahaya, penakut, dan oportunis.
Tuntutan performa dan
pribadi yang baik datang tak hanya dari pelatih, klub, atau pun rekan setim.
Tuntutan tersebut terlebih datang dari para pendukung. Para pemain sepak bola
diwajibkan tampil bak malaikat yang terus memberikan pancaran sinar kedamaian
dalam permainan mereka. Namun pada dasarnya mereka hanya manusia biasa dengan
segala sifat dasarnya.
Tapi jika bisa seenak
hati berkelit dengan alasan pesepakbola juga manusia, mungkin sudah berapa juta
pemain yang melakukan aksi walk out dan menyebabkan
pertandingan dihentikan?
Thomas Hobbes, filsuf
asal Inggris, pun mengamini bahwa manusia adalah manusia yang lemah. Akan
tetapi, manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan yaitu akal. Manusia
diberikan kemampuan berkomunikasi dan berpikir. Perpaduan kekuatan alami
seperti kekuatan fisik dan ketenangan dengan kekuatan buatan seperti rekan
kerja, seharusnya bisa dijadikan kekuatan yang ampuh melawan kenegatifan, baik
jiwa dan raga.
Aksi Volkan beberapa hari
lalu menunjukkan betapa dirinya masih terkontrol oleh emosi dan kurang memanfaatkan
akalnya untuk tetap berlaku profesional. Akan lebih baik jika Volkan dapat
berlaku seperti Daniel Alves saat mendapatkan lemparan pisang dari pendukung
Villareal. Bertolak belakang dengan Volkan, Alves malah mengambil pisang
tersebut dan memakannya. Atas aksinya itu, Alves mendapatkan banyak dukungan di
sosial media dari berbagai kalangan dengan mengikuti aksinya memakan pisang
sebagai simbol gerakan anti rasisme.
Gambar: Sonuchaber.com
Pemain sepak bola tak berbeda jauh dengan
produk-produk kemasan di pasaran. Untuk membuat sebuah produk menarik di mata
konsumen, dalam hal ini klub sepak bola, dibutuhkan kualitas yang khas dimiliki
oleh produk tersebut. Menurut American Society for Quality Control
(Kotler, 2008: 129), definisi kualitas adalah kemampuan suatu barang untuk
memberikan hasil atau kinerja yang sesuai atau melebihi apa yang diinginkan
pelanggan. Jadi, ketika berbicara tentang kualitas, kita membicarakan tingkat
baik buruknya suatu produk, bibit, bebet, dan bobotnya.
Pada pasar musim panas yang baru saja ditutup
sekitar tiga pekan lalu, produk-produk industri sepak bola telah menebarkan
pesonanya, baik dari penampilan musim lalu, penampilan di Piala Dunia Brazil,
hingga menebar pesona lewat berbagai media. Bagi mereka yang berhasil
menampilkan kualitas yang baik, bermain di klub yang lebih besar/diinginkan
atau kenaikan gaji tentunya sedang mereka nikmati sekarang.
Klub-klub Liga Inggris jor-joran membeli pemain di
musim panas kemarin, hingga mengeluarkan lebih dari 1 miliar Euro. Nama-nama
besar yang pindah ke tim-tim Inggris pun menjadi buah bibir hampir di setiap
media sepak bola. Namun dibalik hingar bingar itu, ada pertanyaan terselip di
benak para suporter klub yang berharap klubnya bermain lebih baik di musim ini,
“Mengapa dia (Ashley Young, misalnya) tidak dijual? Padahal kualitasnya buruk
sekali,” atau “Mengapa membeli dia (Danny Welbeck, misalnya)?”
Meski lidah dan uang sama-sama tak bertulang, namun
perihal jual-beli pemain tentunya tidak semudah sekedar bicara. Selain itu,
jual-beli pemain juga tak melulu soal uang, jika seorang pemain masih memiliki
kualitas yang diinginkan, mengapa pula dia harus dilelang. Sama saja seperti
barang-barang kita di rumah, jika barang tersebut masih memiliki kualitas yang
kita inginkan, tentunya kita tidak sembarang meloakkannya hanya demi sebuah
barang baru yang mengkilap.
Banyak sekali unsur yang menunjukkan kualitas dari
suatu produk. Selain performa, hal yang berkaitan dengan fungsi spesial produk
(special features), atau masa pakai suatu produk (durability)
juga menjadi hitungan penting untuk merekrut atau mempertahankan pemain pada
jendela transfer.
Arsenal
Santi Cazorla dan Tomas Rosicky adalah tipikal
pemain yang memiliki kualitas performa (performance) dan fungsi spesial
(special features) sehingga layak dipertahankan oleh Arsene Wenger.
Walau kedua pemain ini sudah tak muda lagi, mereka diharapkan mampu menjadi back
up sektor gelandang tengah milikGunners karena Mikel
Arteta, Jack Wilshere, dan Aaron Ramsey rentan cedera.
Secara fungsi, Cazorla dan Rosicky juga mampu
bermain melebar atau bahkan menjadi penyerang bayangan untuk Arsenal. Ketika
kompetisi begitu padat, rotasi pemain jelas dibutuhkan Wenger, dengan adanya
pemain-pemain fleksibel seperti itu, tugasnya untuk meracik tim pun menjadi
lebih mudah.
Begitu juga dengan Danny Welbeck, kepindahannya
dari Manchester United bukan berarti ia tidak memiliki kualitas. Berada di
bawah bayang-bayang Wayne Rooney dan Robin van Persie mengubur paksa
kualitasnya. Welbeck memiliki unsur kualitas reliability, yangberkaitan
dengan kemungkinan pemain berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan
dalam periode waktu tertentu.
Artinya, dengan kedatangan Danny Welbeck di squad
the gunners, selain akan menambah opsi pemain, Wenger pun mendapatkan lebih
banyak pilihan untuk meracik strategi. Menduetkannya bersama Olivier Giroud
atau memainkan pola trisula bersama Alexis Sanchez, mungkin
bisa membuat Opa Wenger tersenyum sejenak melihat kedalaman squad yang ia
miliki.
Chelsea
Kedatangan Felipe Luis dan Diego Costa membuat
banyak orang bertanya-tanya tentang masa depan César Azpilicueta dan André
Schürrle. One rule-nya Barney Stinson, “new is always better”
tak selamanya berlaku di arena sepak bola. Luis dan Costa tidak terlepas dari
persaingan dengan pemain lain yang ingin mempertahankan posisinya, sekalipun
pembelian Luis dan Costa memang didasari oleh performa cemerlang mereka pada
musim lalu bersama Atletico Madrid.
Terlepas dari penampilan buruk Azpilicueta pada
Piala Dunia kemarin bersama Spanyol, ia tetap menjadi pilihan utama Jose
Mourinho di posisi kiri pertahanan The Blues. Bermain 90 menit di
empat laga awal musim ini benar-benar menepis keraguan bahwa dirinya akan
digeser oleh Luis.
Begitu juga dengan Schürrle, ia mampu tampil tiga
laga dari empat pertandingan yang ada. Schürrle sejatinya adalah striker murni,
namun ia sudah bertransformasi menjadi pemain yang bisa bermain sedikit
melebar. Meskipun performa apik Costa terus berlanjut, tak ada sedikit
kecemasan pada diri Schürrle karena ia bisa menghindari komparasi dirinya atas
Costa sebagai penyerang murni.
Terlepas dari aspek durability Azpilicueta
(25 tahun) dan Schürrle (23 tahun), Mou merasa unsurconformance, yaitu
hal yang berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap keinginan pelatih,
menjadi alasan untuk mempertahankan mereka. Musim lalu, Azpilicueta berhasil
membuat total 12 peluang sebagaifull back, sedangkan Schürrle menorehkan
delapan gol di liga dan membuat total 29 peluang. Dan itu sudah melebihi
ekpektasi Mou untuk kedua pemain muda tersebut.
Manchester United
Ketika Loius van Gaal berhasil mendapatkan produk
asli yang lebih berkualitas semacam Angel di Maria, Marcos Rojo, Daley Blind,
dan Radamel Falcao, produk kelas dua dan “produk gagal” yang ada di Manchester
United pun mulai dibersihkan. Luis Nani, Tom Cleverley, Javier Hernandez, dan
Danny Welbeck pun menjadi korban cuci gudang setan merah.
Namun, diantara daftar mereka yang pergi, tak
ditemukan nama Ashley Young dan Antonio Valencia. Mereka masih bersanding
dengan nama-nama mega bintang teranyar United semacam di Maria. Ya, lagi-lagi
unsur kualitas lain yang menjadi penyelamat karir mereka. Selain bermain ciamik
pada masa pre-season, kemampuan mereka untuk bermain di berbagai
posisi menjadi bahan pertimbangan van Gaal untuk mempertahankan mereka.
Ketika awalnya LvG bersikeras dengan skema 3-5-2 ala timnas
Belanda, Young dan Valencia dirasa cocok untuk memainkan filosofi sang pelatih.
Akan tetapi, pekan kemarin United bangkit dengan skema 4-4-2-nya, entah
bagaimana nasib kedua pemain ini di jendela transfer musim dingin nanti.
***
Dari tiga fenomena yang terjadi pada tim-tim
tersebut, terlihat bahwa banyak pelatih yang melihat kualitas pemain dari
berbagai unsur. Performa pemain tak hanya dinilai dari banyak gol dan jumlah assist,
namun fungsi ganda atau multi-posisi, tingkat kesesuaian di dalam tim, dan umur
produktif pemain menjadi berbagai unsur lain untuk melihat kualitas pemain.
Jadi, jangan heran ketika melihat nama-nama diatas
masih saja menjadi andalan masing-masing pelatih.
Gambar: kicksocca.com
Banyak orang yang beranggapan bahwa hidup di dunia ini bak hidup di sebuah hutan. Selayaknya hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Definisi kekuatan di dunia manusia sedikit lebih abstrak dibandingkan dengan di dunia hewani. Kekuatan tak hanya soal fisik, tapi juga bisa menjelma dalam bentuk uang, gelar, atau keterampilan. Siapa yang memiliki uang, dia yang hidup. Siapa yang menyandang gelar, dia yang berhak bekerja. Dan siapa yang mempunyai keterampilan, dia lah yang diberdayagunakan.
Bagi mereka yang tak memiliki kekuatan tersebut, bersiaplah untuk menyingkir dari kehidupan. Mati dalam kemiskinan, mati dalam kebodohan, dan mati dalam kepasrahan. Seperti dijelaskan Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan, manusia ingin mendominasi kekuatan dan mengejar kebebasan di dunia walau dalam bentuk anarkisme sekalipun.
Aloysius Paulus Maria van Gaal, atau lebih dikenal dengan nama Louis van Gaal adalah pria yang benar-benar memahami betul bagaimana cara untuk bertahan hidup. Dalam karir sepak bolanya, Van Gaal bukanlah pemain yang fenomenal, apalagi jika dibandingkan dengan pemain-pemain seangkatannya, misalnya Johan Cruyff yang pada saat itu sama-sama membela klub asal Belanda, Ajax Amsterdam.
Kegagalan menjadi bintang sepak bola ini lah yang menjadi titik balik Van Gaal bertransformasi menjadi Van Gaal yang kini dikenal di seluruh dunia. Lewat karir kepelatihanya, Van Gaal menyatakan pada dunia bahwa dia ada dan enggan menyingkir dari kehidupan.
Layaknya Tuhan yang memberikan sinyal dan tanda-tanda ke-eksistensian-Nya, Van Gaal pun kerap memamerkan kuasanya. Di awal karirnya, ia berhasil membawa Ajax menjuarai Eredivisie tiga kali berturut-turut. Dan sama halnya seperti Tuhan yang terus menunjukan kuasa-Nya, Van Gaal melanjutkan kesuksesannya di Barcelona, AZ Alkmaar, Bayern Muenchen dan, yang teranyar, kesuksesannya bersama timnas Belanda, yang menjadi juara tiga di Piala Dunia 2014.
Musim 2013-2014 adalah musim yang ingin dihapus dari memori setiap pendukung Manchester United. Man United hanya bertengger di posisi ketujuh dan oleh karenanya tak bermain di Liga Champions musim 2014-2015. Bisa dibilang ini adalah kemudaratan terbesar Man United selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Ed Woodward pun mengajak seluruh umatnya untuk meyakini “Tuhan” yang satu, Van Gaal. Bukan David. Bukan juga Moyes.
Hidayah ini patut disyukuri setiap elemen Man United, baik pemain, staff dan juga umatnya. Bagaimana tidak, dalam karir kepelatihannya bersama klub, Van Gaal selalu memberi gelar juara liga bagi mereka. AZ Alkmaar, yang kebanyakan orang Indonesia tak pernah mendengar namanya sekali pun, dibawanya menjadi juara Eredivisie 2008-09. Presentase kemenangan sepanjang karir kepelatihannya pun tak kalah hebat, 61.66%! Lebih baik ketimbang Sir Alex Ferguson (58.14%), Arsene Wenger (53.87%), dan Manuel Pellegrini (50.61%).
Layaknya Tuhan disetiap agama, Van Gaal pun ingin setiap “malaikat” atau ruh lain-nya tetap berada disampingnya; nama-nama seperti Albert Stuivenberg (assistant coach), Marcel Bout (opposition scout), Frans Hoek (goalkeeping coach), dan Jos van Dijk (training physiologist) merupakan utusan-utusan yang setia menemani Van Gaal.
Tak hanya itu, rumah suci Carrington pun siap dirombak demi kenyamanan Van Gaal. Pelatih yang berusia 63 tahun ini bertitah bahwasannya angin kencang di Carrington membuat banyak pemain tidak berada dalam kondisi yang baik (baca: masuk angin). Bukan tanpa alasan memang permintaan LvG ini. The Godfather sebelumnya, Sir Alex Ferguson, melayanai umatnya dengan rekonstruksi Carrington yang dilakukan pada tahun 1999, yang menghabiskan dana 22 juta pound dan memakan waktu selama satu tahun. Fergie pun menganggap pembangunaan ini adalah salah satu “best signing”-nya selama menukangi Man United.
Tak hanya itu, Louis van Gaal pun memberi pencerahan pada skema permainan Man United yang selama ini sudah mendarah daging di tubuh mereka. Dari skema empat pemain belakang, LvG menyiarkan paham baru yang berorientasi pada tiga pemain belakang. Selain itu, notebook yang selama ini ia gunakan, seakan menjadi “Lauhul Mahfuzh”-nya yang mencatat skenario yang terjadi dimasa depan. Memasukan Fellaini pada pertandingan tadi malam, yang menjadi pencetak gol kemenangan Man United dimenit-menit akhir atas Valencia 2-1, menjadikan Van Gaal seperti ahli dalam penentuan masa depan Man United.
Kini pendukung Man United boleh mengucapkan syukur karena keyakinan mereka pada sang tuhan berbuah manis dengan kemenangan demi kemenangan di pre-season kemarin. Perkataan “No player at Old Trafford is bigger than the club” memang benar adanya, karena van Gaal bukan lah pemain, dia adalah Tu(h)an Van Gaal.
Foto: irishmirror.ie
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme
diartikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara
potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan
identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Berbagai cara untuk merefleksikan nasionalisme
sering kita temui di berbagai sudut bumi, mulai dari pemakaian atribut yang
berbau kebangsaan, penggunaan produk dalam negeri, hingga penolakan terhadap
produk, paham, atau bahasa asing.
Mengaca pada makna dan arti nasionalisme, rasanya
hanya ada kata pesimis dalam benak saya. Mulai dari kata “kesadaraan”, lalu
diikuti dengan kata “bersama-sama”, hingga menyentuh kata “kekuatan bangsa” pun
rasanya tak mampu negara kita, Indonesia, mengaplikasikan paham tersebut.
Untuk memaknai nasionalime, Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika menjadi dasar penting untuk mencapai tujuan kenegaraan. Bukan hanya
orang Jawa, Sunda atau Batak, namun seluruh elemen bangsa ini wajib hukumnya
dapat memaknai dan mengimplementasikan dua simbol kenegaraan ini.
Sayangnya, lima poin dasar Pancasila, mulai dari
ketuhanan yang Maha Esa hingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
hanya sebatas ilusi belaka. Arti Bhinneka Tunggal Ika yang hampir seluruh WNI
tahu akan artinya, berbeda–beda namun tetap sama, pun juga hanya sekedar
wacana.
Hampir menginjak usia yang ke-70 tahun, Indonesia
masih belum bisa berbuat apa-apa dalam dunia internasional, khususnya sepak
bola. Sebuah cita-cita bangsa untuk mengaharumkan nama Indonesia lagi-lagi
hanya isapan jempol belaka.
Bandingkan dengan Jerman, hanya butuh 24 tahun
untuk menyabet gelar perdana sebagai negara kesatuan Jerman untuk memenangi
Piala Dunia 2014 di Brazil pekan kemarin. Sebelum runtuhnya tembok Berlin yang
dibangun oleh Republik Demokratik Jerman untuk memisahkan Berlin Barat dan
Berlin Timur, Jerman Barat sudah memenangi 3 Piala Dunia.
Namun tembok Berlin yang berdiri selama kurang
lebih 28 tahun, sempat menjadi simbol pemisah, ketakutan dan ancaman antara
Jerman Barat dan Jerman Timur. Dan hingga pada akhirnya, Januari 1990, secara
resmi tembok tersebut berhasil dihancurkan dan mengubah negara Jerman menjadi
negara yang satu, berani dan juga maju.
Memasuki masa transisi, tak mudah membangun
kekuatan dari berbagai aspek negara mulai dari ekonomi, politik, militer,
teknologi, dan juga aspek yang remeh sekalipun, sepak bola, dalam kurun waktu
yang singkat.
Akan tetapi, dengan pembangunan yang dilakukan
secara bertahap, Jerman berhasil mengembangkan sepak bola dengan cara yang
tepat. Mulai dari pembinaan usia dini hingga infrastruktur sepak bola. Tak
heran jika nantinya Anda mendarat di bandara Jerman, Anda akan menyaksikan
banyaknya lapangan sepak bola yang menghiasi negara tersebut.
Dengan pemfasilitasan dan kesadaran semua pihak untuk
menjaga, merawat dan turut serta dalam keanggotaan, Jerman menjadi sebuah
negara yang memahami betul apa itu nasionalisme.
Kepercayaan setiap manajemen dan pelatih terhadap
sumber daya lokal juga menjadi salah satu kunci sukses negara Jerman.
Pengemasan Bundesliga sebagai liga lokal pun dilakukan secara apik. Dan tak
terkesan terburu-buru untuk menarik investor asing untuk datang dan terlibat di
liga Jerman tersebut.
Bhinneka Tunggal Ika pun tumbuh dengan gagahnya
ketika pemain semacam Mesut Ozil, Sami Khedira, Jerome Boateng, Lukas Podolski
dan Miroslav Klose yang sejatinya adalah pemain keturunan dari berbagai negara,
bahu membahu bersama Bastian Schweinsteiger dkk untuk mencapai cita-cita
bangsa.
Seperti yang dijabarkan oleh Friedrich Hertz dalam
bukunya yang berjudul Nationality in History and Policy, ketika
ikatan rasa senasib dan seperjuangan ditunjukan oleh lima pemain di atas,
hasrat untuk mencapai kesatuan, kemerdekaan, keaslian dan kehormatan bangsa
akan terwujud nantinya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Mimpi Indonesia untuk berlaga di Piala Dunia masih
ada. Ketika semua aspek, baik itu elit sepak bola, pelaku dan masyarakat
Indonesia bisa memaknai apa itu nasionalime yang hakiki, bukan nasionalisme
palsu, “Indonesia Raya” bisa saja berkumandang di perhelatan sepak bola
terakbar tersebut.
Semoga…